Rabu, 16 November 2011

Al- Osmani Harus Dikenal



Unik, kuning dan hijau yang mencolok, melambangkan warna suku melayu. Arsitektur yang masih terjaga dalam nilai- nilai bangunan Timur Tengah, India, Spanyol dan China.Berbeda dengan Mesji Raya Al- Mashun yang dikenal dan ramai dikunjungi oleh masyarakat.
Peninggalan sejarah islam ditandai dengan berdirinya kerajaan- kerajaan islam di Medan yang dahulunya dikenal dengan sebutan kesultanan di Sumatera Timur. Selain istana kerajaan dan gedung kerapatan sultan, dibangun pula mesjid sebagai tempat beribadah para penghuni istana. Kesultanan Deli meninggalkan dua bangunan Mesjid, yaitu Mesjid Al- Osmani dan Mesjid Raya Al-Mashun.
            Bangunan yang berdiri sejak 1857, pada masa kerajaan melayu yang dipimpin oleh Sultan Osman Perkasa Alam (1850-1858) terletak di Jalan Yos Sudarso Km 18, Kelurahan Pekan Labuhan, Kecamatan Medan Labuhan, Medan. Memiliki jarak 19 km dari pusat kota Medan. Bagian barat kecamatan ini, berbatasan dengan Kecamatan Medan Marelan. Bagian timur, berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang. Sedangkan bagian utara, berbatasan dengan Belawan dan di Selatan berbatasan dengan Kecamatan Deli. Wilayah ini termasuk wilayah dataran rendah alluvial yang terbentuk dari sedimentasi Sungai Deli yang mengalir di daerah ini.
            “Pada masa Sultan Osman perkasa Alam, berdiri sebuah pemukiman kesultanan di wilayah pelabuhan. Ketika itu pusat pemerintahannya berada dilabuhan Deli, pesisir timur Sumatera. Berdasarkan letak geografisnya, itu sebabnya mesjid ini dibangun sebagai tempat ibadah Sultan dan para pedagang yang singgah. Tapi sangat disayangkan, masih banyak masyarakat kota Medan yang belum mengetahui mesjid tertua dan pertama di kota Medan ini,” tutur Badan Kenaziran Mesjid (BKM) Al- Osmani, Ahmad Fahruni.
            Ornamen melayu juga tampak kental pada ukiran yang menempel di bawah atap dan seng mesjid. Pucuk rebung, nama dari ornamen yang terukir. Ukiran pucuk rebung dipakai untuk istana dan rumah panggung adat melayu. Kuning dan hijau tidak hanya menghiasi dinding, tiang, beton, mimbar juga senada dengan dinding. Ruangan untuk mengambil wudhu, terpisah dari bangunan utama mesjid. Bedug berumur 38 tahun yang digunakan sebagai tanda berbuka pada saat bulan ramadhan, terdapat di sisi luar mesjid. Perpustakaan yang berbentuk rumah panggung juga menjadi bagian dari bangunan ini.
            Bermotif batang bambu yang dibentuk persegi dengan motif bunga pada ujungnya. Sebelah barat, dua menara berdiri tegak dengan tinggi masing- masing enam meter dan dirancang berlubang- lubang. Dinding kolam air wudhu di design tinggi, berfungsi pula sebagai reservoir yang berdenah delapan. Posisi bak air dipasang pancuran untuk berwudhu dengan atap pyramidal tumpuk dua yang sisinya persegi delapan. Diantara atap atas dan bawah, terdapat kontstruksi papan kayu berlubang- lubang rapat dan runcing. Kolom penyangga atap berbentuk silindris langsing.
            Rancangan unik bergaya india terletak pada kubah. Kubah terbuat dari kuningan dengan berat 2,5 ton dan berwarna coklat. Motif kubah diukir dengan motif ulat bulu dan kupu- kupu, menyatu pada bawah kubah, khas india. Sementara itu, kaligrafi dan lukisan bagian dalam kubah memiliki kesamaan motif dan warna dengan Mesjid raya Al- Mashun.
            Ruang utama mesjid berdenah empat persegi panjang. Setiap sisi persegi memiliki pintu, kecuali sisi barat karena terdapat mihrab. Ornamen China, dapat terlihat pada pintu- pintu ini. Bergeometris. Pintu bagian tengah berdaun dua dengan hiasan geometris. Ketiga pintu lainnya terdapat di bagian utara, timur dan selatan. Pada masa kerajaan, pintu- pintu ini hanya digunakan oleh para raja. “Sedangkan rakyat masuk melalui empat pintu kecil yang mengapit pintu utama sisi utara dan selatan. Pintu- pintu ini berornamen China karena seorang pengusaha, bernama Tjong A Fie memiliki kerjasama dengan pihak kesultanan,” jelas Fahruni.
            Hal lain yang terdapat pada mesjid ini adalah pekuburan wakaf yang berasitektur seperti makam Aceh. Terdapat lima makam raja deli yang dikuburkan, yaitu Tuanku Panglima Pasutan (Raja deli IV), Tuanku Panglima Gandar (Raja deli V), Sultan Amaluddin Perkasa Alam (Raja deli VI), Sultan Osma perkasa dan Sultan Mahmud Perkasa Alam.
            Setelah Sultan Osmani wafat, luas wilayah mesjid memiliki perubahan pada masa Putra Sultan Osmani, Sultan Mahmud Perkasa Alam. Luas awal 16 x 16 meter, menjadi 26 x 26 meter. Hal ini disebabkan kemakmuran pesat dalam bidang perkebunan yang berdampak pada pembangunan mesjid. “Tahun 1870- 1872, mesjid ini menjadi bangunan permanent dengan mempercayakan arsitek yang berasal dari German dan Belanda. Batu- batu dari Eropa dan Persia didatangkan untuk mempercantik mesjid,” tutur Fahruni.
            1886, di masa kepemimpinan yang sama, terjadi pemindahan istana yang berada di depan mesjid labuhan ke Kampung Bahari. Pemindahan istana dikarenakan bertambahnya persekutuan kebun tembakau di Negeri Deli dan disebabkan karena pemukiman Melayu yang berada di sepanjang pesisir tidak dapat berkembang pesat. Sultan Mahmud Perkasa juga membangun istana di tengah kota, Istana Maimoon. Dalam kurun waktu yang sama, Mesjid Raya Al- Mashun juga dibangun.
            Fahruni mengatakan bahwa dengan adanya pemindahan pusat pemerintahan, keberadaan mesjid Al- Osmani tidak lagi menjadi tempat peribadatan utama bagi Sultan. “Seluruh fungsi kesultanan bergeser ke Medan Putri atau yang di sebut Kota Medan pada saat ini,” katanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar