Jumat, 11 Mei 2012

Memandang Amsterdam Di “Wajah” Medan



Tarian senja memang terlihat jelas di setiap goresan bangunannya, meski telah ditutupi dengan nuansa cat yang baru. Historis arsitekturnya mendominasi pemandangan diperadaban kota ini, menunjukkan bahwa wajah Amsterdam telah tergores dengan apik disini. Saat memandang kesebelah utara, terlihat Kantor Pos Medan dan Gedung Jakarta Llyod yang pada saat didirikan adalah sebuah bangunan kantor perusahaan pelayaran The Netherland Shipping Company. Dibangun pada tahun 1909-1911 oleh seorang arsitek bernama Snuyf yang dulu merupakan Direktur Jawatan Pekerjaan Umum Belanda untuk Indonesia pada masa pemerintahan Belanda. Bangunan satu lantai yang terlihat kokoh dan megah ini dibangun dengan konsep Neo Classic. Lantai dati tegel atau marmer berdimensi besar menambahkan kemegahan bangunan ini. Dinding terbuat dari bahan bata, sedangkan atapnya dari genteng. Berdiri disudut dari sebuah Lapangan jaunting kota, membuat bangunan yang memiliki luas bangunan 1200 M² dengan tinggi 20 m, panjang 60 m dan lebar 20 m tampak tak biasa.
Berpaling kesisi depannya, terlihat dua buah bank swasta yang dulunya merupakan gedung The Netherland Trading Company dan Nederlandsche Handel  Maatschappij dan sempat menjadi kantor Rotterdam’s Llyod sampai tahun 1929. Selain itu, ada pula Gedung Bank Indonesia yang terletak di sisi selatan, dimana dahulunya dipakai sebagai kantor Javasche Bank. Di bangun tahun 1910 oleh Firma Arsitek Hulswit and Fermont dari Weltevreden dan Ed Cuypers dari Amsterdam, gedung ini mengambil gaya klasik dengan beberapa ornamen gaya Jawa. Bangunan ini memang disesuaikan dengan iklim serta tingkat teknologi setempat. Wujud umum dari dari penampilan arsitektur The  Empire Style, memiliki denah yang simetris, satu lantai dan ditutup dengan atap perisai. Karakteristik lain dari gaya ini diantaranya: terbuka, terdapat pilar di serambi depan dan belakang, terdapat serambi tengah yang menuju ke ruang tidur dan kamar-kamar lain. Ciri khas dari gaya arsitektur ini yaitu adanya barisan pilar atau kolom  yang menjulang ke atas serta terdapat gevel dan mahkota di atas serambi depan dan belakang. Karakteristik The  Empire Style diambil berdasarkan, transparansi, ruang, cahaya dan udara. Hal ini dicapai melalui penggunaan bahan-bahan modern dan metode konstruksi, simetris dan pengulangan yaitu keseimbangan antara bagian-bagian yang tidak setara.



1918, Medan resmi menjadi Gemeente (Kota Praja) dengan Walikota Baron Daniel Mac Kay. Berdasarkan Acte van Schenking (Akte Hibah) Nomor 97 Notaris J.M. de-Hondt Junior, tanggal 30 Nopember 1918, Sultan Deli menyerahkan tanah kota Medan kepada Gemeente Medan, sehingga resmi menjadi wilayah di bawah kekuasaan langsung Hindia Belanda. Sejak itu, belanda membangun bangunan- bangunan tersebut dengan gaya arsitektur transisi sebagai pusat peradaban mereka yang menunjukkan bahwa mereka adalah masyarakat yang agraris, industri, dan informatif. Jika dicermati dari segi arsitekturnya, bangunan- bangunan tersebut menceritakan tentang hubungan yang agraris, industri dan informatif, baik dari segi letak bangunan yang berkiblat dari satu sisi, yaitu satu lapangan yang disebut sebagai lapangan Merdeka oleh masyarakat Medan dan saat ini menjadi pusat kota. Mengapa begitu? Karena, orang- orang Belanda selalu mendukung industri dan menggunakan bangunan- bangunan tersebut sebagai alat untuk memperlancar dan memudahkan pekerjaan mereka masing- masing. ***

Senin, 09 April 2012

Naiknya BBM Untuk Siapa?

Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi dan Tarif Dasar Listrik (TDL) antara lima persen hingga sepuluh persen sepertinya menjadi keputusan yang tidak dapat dihindari lagi  oleh pemerintah. Keputusan ini tentunya akan mempengaruhi menaikkan angka inflasi sesuai dengan skenario kenaikan BBM itu sendiri. Inflasi diperkirakan akan mengalami kenaikan sebesar  6,8 persen jika BBM bersubsidi naik Rp 1.500 dan 7,1 persen jika naik Rp 2.000.
Tindakan kenaikan BBM dan TDL yang dinilai tidak dapat dihindari lagi karena alasan untuk menyalamatkan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang kian menipis, agar tidak mengganggu pembiayaan program-program untuk rakyat, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan dan lain-lain, tentunya masih mengundang berbagai pertanyaan. Sejauh ini, APBN yang ada masih saja terlihat berarak dibagi- bagi untuk kepentingan yang tidak jelas dan bersifat non-populis. Terdaftar untuk tahun 2011, pemerintah mengeluarkan APBN cukup banyak untuk merenovasi gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menghabiskan dana miliaran rupiah. Sebesar Rp. 20,3 Miliar untuk melakukan renovasi ruang Badan Anggaran (Banggar), Rp. 18,5 Miliar renovasi ruang rapat paripurna, dimana Rp. 4,1 Miliar dilakukan untuk penyediaan layar digital dan Rp. 2,4 Miliar untuk instalasi listrik. Rp. 2 Miliar dikeluarkan untuk merenovasi toilet, Rp. 1,5 Miliar pengadaan kalender untuk 560 anggota DPR.
Di tahun ini, DPR kembali menganggarkan dana Rp. 300 Juta untuk membeli fasilitas presensi mesin Finger print, dimana sebelumnya tercatat sebesar 1 Miliar. Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta juga akan kembali dipercantik dengan penggantian marmer sebesar Rp 80 Miliar. Padahal, lantai gedung tersebut masih tampak baik. Biaya renovasi lantai itu terlihat dalam Anggaran Pengeluaran dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta 2012 dengan Kode Rekening 1.2000201118 dan uraian renovasi lantai gedung DPRD lama. Jumlah tersebut lebih besar dibandingkan dana untuk belanja barang dan jasa DPRD DKI 2012 yang hanya Rp 79,9 Miliar. Bahkan, gedung DPRD lama juga akan dihubungkan dengan gedung DPRD baru yang saat ini sedang dalam proses penyelesaian. Bukankah tindakan tersebut telah jauh dari prinsip efektifitas dan efisiensi anggaran yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Pemerintahan yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Alasan Yang Timpang
Melihat fakta yang ada, alasan dan kenyataan tentu saja masih timpang. Dana APBN yang harus diselamatkan atas nama rakyat, masih belum memberikan pembuktian. Tahun lalu, alokasi APBN Rp 300 Triliun, dimana sebesar  60 persen habis untuk pengeluaran rutin seperti gaji pegawai, pejabat, dan biaya operasional. Hanya sebesar 20 persen lagi digunakan untuk membayar hutang beserta bunganya, dan hanya 20 persen digunakan untuk dana pembangunan rakyat. Jika dihitung, maka rata-rata pengeluaran rutin yang dialokasikan APBD provinsi dan kabupaten kota, mencapai 81 persen, dan sampai ke rakyat sebesar 19 persen. Nilai tersebut jauh dari cukup, karena setidaknya kesejahtraan sosial akan tercipta jika jumlah anggaran rutin itu tidak boleh lebih dari 40 persen.
Kenaikan BBM banyak menuai pertanyaan atas alasan yang ril karena sudah pasti memicu meningkatnya nilai- nilai harga di seluruh sektor pangan dan sandang. Tentu, masyarakat masih terus bertanya- tanya tentang kebijakan dalam menyelamatkan APBN yang berguna untuk populasi masyarakat Indonesia atau untuk penyelamatan APBN yang nantinya akan digunakan kepentingan non-populis?
Kenaikan seluruh komoditas jelas akan mengakibatkan penurunan daya beli atau pendapatan riil. Dampaknya memang sangat bervariasi, tergantung pada pola konsumsi dan sensitifitas dari harga masing-masing komoditi terhadap kenaikan harga BBM. Namun, rumah tangga miskin umumnya relatif terproteksi akan tiga hal. Pertama, pangsa konsumsi langsung BBM relatif kecil. Kedua, konsumsi komoditi, seperti pengeluaran untuk transportasi. Ketiga, Komoditi yang dominan dalam pola konsumsi rumah tangga kelas bawah yaitu beras, yang akan bergerak tinggi. Tingkat kemiskinan pun kemudian mengalami peningkatan.
BBM yang telah mengalami beberapa kali kenaikan selama pemerintahan Indonesia Bersatu Jilid II, seharusnya bisa menjadi cerminan. Pendekatan Compensating Variation dapat menjadi salah satu ramuan untuk masalah seperti ini. Dimana, kelompok termiskin mendapatkan kompensasi yang jumlahnya lebih besar dari kebutuhan untuk mempertahankan tingkat kesejahteraan yang sama seperti sebelum kenaikan harga BBM. Meski masih ada keluarga yang mengalami turun status menjadi miskin akibat kenaikan BBM ini, setidaknya rumah tangga ini tidak eligible mendapatkan kompensasi. Tetapi secara netto, jumlah yang terangkat lebih besar dibandingkan yang mengalami penurunan pendapatan.
Atau setidaknya, pemerintah berupaya mengurangi dan membatasi pemakaian dari kendaraan pribadi, seperti motor dan mobil. Bukan hanya mendatangkan sebanyak tujuh juta motor setiap tahunnya tanpa melakukan pembatasan. Pembatasan pemakaian kendaraan pribadi dapat mempengaruhi kebijakan dalam menahan pembengkakan atau jebolnya kuota BBM, karena nilai pemasukan akan sama dengan nilai pengeluaran. Setelah meminimilkan jumlah kendaraan, melakukan peningkatan jumlah infrastruktur angkutan massa akan memberikan keseimbangan dari masyarakat yang tidak memiliki kendaraan. Contohnya saja menambah rel kereta api yang saat ini hanya sepanjang empat ribu kilometer. Padahal, pada zaman Belanda, rel kereta api tercatat sepanjang 12 ribu kilometer. Alokasi dana APBN yang dikatakan pihak pemerintah untuk pembiayaan infrastruktur dan pembangunan rakyat bukankah seharusnya sudah dapat dicanangkan sebelumnya untuk hal- hal penting tersebut, sehingga tidak perlu mengambil kebijakan menaikkan BBM? ***