Rabu, 16 November 2011

1 tempat

Adakah tempat yang membuat segala kesulitan menjadi gula yang manis?
Adakah tempat yang memposisikan kecewa sebagai samangat?
Adakah tempat yang nyaman saat gundah sebagai kebahagaian terindah?
Adakah tempat yang mempesona saat tangisan sebagai impian tertinggi?

Kau tahu…

Ada sepetak tempat yang dapat menyatukan orang asing menjadi keluarga. Isinya tidak cukup membuat para pencuri melirik. Tanpa mawar dan melati yang menghiasi pekarangan. Tanpa pagar besi sebagai pembatas. Atau hiasan batu keramik menawan pada ruangannya. Cukup sederhana dengan masing-masing sisi 8x6 meter. Hanya ada sebidang foto-foto kenangan. Struktur yang membedakan akan tugas dari setiap individu yang bergabung di dalamnya. Beberapa lemari sebagai penghuni lembaran-lembaran kertas. Tersusun rapi sebagai dokumentasi kearsipan. Karya yang telah tercetak sejak pertengahan Juli 2001 (12 Juli 2001) juga dipertontonkan rapi pada deretan satu sisi dindingnya. Dimulai dari karya tertua yang diikuti dengan karya pengkonsumsi nilai waktu terendah. Harta lain yang dimilikinya berdiri tegak di bagian datar atas lemari. Masing-masing bertuliskan Pelatihan Tingkat Lanjut dari berbagai kota di Indonesia. Cendramata terindah bagi pembawanya.

Whiteboard juga ada. CPU dan computer yang masih rusak. Kali ini dindingnya di cat ungu. Seluruh lantai beralaskan karpet plastik. Rak sepatu. Piring. Gelas. Sendok. Alat pembersih lantai. Bahkan ember. Puncaknya, sebuah aluminium persegi empat yang dasarnya bercat putih dengan nuansa biru pada tulisan TEROPONG. Dilengkapi logo dan maskot di kanan kiri. Lainnya, secangkir emosi yang menghangatkan ruangan saat rapat berlanjut. Akan manis kembali saat sajian tawa yang lepas mendarat dengan mendadak. Terkadang tanpa henti. Berbagai jenis penyebabnya. Tapi bagiku, dia dan mereka itu adalah harta yang sangat penting.

Tak ada harta, tetapi karya nyata yang diberikan olehnya. Tempat itu hanya menyisakan rasa rindu jika perjalanan itu telah terhenti. Dia, tempat itu hanya dapat memberi aroma kenangan saat harus meninggalkannya dalam genggaman sahabat. Tempat itu, hanya memberikan tinta emas kepada setiap pecintanya. Lalu menggoreskan ilmu dalam setiap denting kehidupan. Hanya satu tempat.
Kesulitan? Aku rasa banyak, tapi tak sebanyak lelucon yang diberikan mpok saat suasana serius. Tak sebanyak hinaan nakal yang terlontar dari setiap sudut bibir anggota yang berujung pada senyuman. Pastinya, tak sebanyak kenangan yang telah tercipta untuk dapat dikenang kelak.

Kecewa? Rasa yang kerap dicicipi saat profesionalitas tak dapat dipertanggungjawabkan. Hanya aku atau dia yang tersisa. Mereka??? hilang bersama kerapuhan masalah. Tak apa-apa, aku masih baik-baik saja. Harus tetap bertahan. Kata “semangat” yang terbisik di hati mungkin sedikit mengobati. Seseorang pernah mengatakan padaku bahwa kesabaran akan membuahkan hasil yang luar biasa. Benar apa yang dikatakan olehnya. Sedikit demi sedikit aku mengkonsumsi kesabaran dalam relung jiwa. Ikhlas.

Gundah? Seperti racun yang menjelma menjadi obat. Akan sangat menolong jika digunakan sesuai anjuran dan sebaliknya, akan sangat berbahaya jika salah dalam penggunaannya. Sering dianggap sebagai masalah yang tak berdampak, tetapi sangat mempengaruhi tempat itu. Kerap raut wajah berubah menjadi tak enak saat gundah ada. Lebih sering karena program yang direncanakan tak terlaksana atau melampaui akhir batas waktu yang ditetapkan. Masih banyak yang menyalahgunakannya. Mereka tak meramu cara menghilangkan gundah, tapi menjauh darinya.

Tangisan? Jangan pernah bertanya itu. Karena tak akan luput dari perjalanan di tempat ini. Bulatan air yang terbentuk disudut mata menjadi hal yang biasa saat masalah menyerang kubu hati. Bisa karena kesulitan atau kecewa. Tak penting, serangan berasal dari dalam atau masalah muncul dari luar. Timbul dari sudut kanan, kiri, dari atas atau datang dari arah bawah. Secepat mungkin bulatan air akan dihapus oleh punggung tangan sang sahabat, kami. Tangisan itu juga akan tetap menjadi kenangan yang dapat dikenang kelak.

Enam tahun sejak dia muncul kepermukaan dari beberapa pikiran mahasiswa, baru aku mengenalnya. 27 April 2007. Masih cerah diingatan, saat aku mulai untuk mempelajari setiap sudut, hingga benar-benar hafal dari setiap inchi perjalanannya. Dan memulai perjalananku dalam sejarahnya. Merambat berbagai dunia jurnalistik.
Waktu memberikan posisi Purisdok (Pusat Riset dan Dokumentasi) yang di naungi Divisi Litbang di jabatan pertamaku. Urusan edit-mengedit setiap huruf, kata, baris, dan kalimat berita, menjadi pekerjaanku kemudian, Redaktur Bahasa di Divisi Redaksi. Lalu, Kewajiban menjalankan kepercayaan teman-teman sebagai PJ redaktur pelaksana di akhir tahun (6 September 2008) sebagai hadiah menurutku. Memang benar pepatah mengatakan “semakin tinggi pohon tumbuh maka semakin tinggi pula angin yang menerpanya”. Kini, aku hafal setiap millimeter diri dan tujuannya.

Tanggungjawab semakin terasa lebih di akhir tahun itu. Tak jarang malam masih menemuiku terlelap dalam buaian kata-kata yang akan dikonsumsi oleh pembaca. Atau terkadang berlarian diantara narasumber yang puas memberikan antrian panjang tanpa nomor. Menantang tangguh sang raja api yang menghasilkan cairan keringat diseluruh tubuh. Kemudian, mengusik lelah dengan goresan sang tinta pada lembaran-lembaran kertas dengan tulisan pada sudutnya “oleh: Elfa” atau sering juga tertulis panjang “oleh: Elfa Suharti Harahap”. Hanya itu bayaran yang berharga bagiku.

Masih di akhir tahun. Surat tugas telah ku terima. Tempat itu membawaku pada perjalanan ke satu kota gajah di ujung sumatera, kota Lampung (1-2 November 2008). Perjalanan nasional dengan menggandeng namanya. TEROPONG. Perjalanan impian bagi setiap anggotanya. Simposium melatarbelakangi kegiatan tersebut. Dosis tinta yang kumiliki semakin bertambah saat dunia nasional diraih dengan berbagai cita dan harapan.

Gundah tak dapat di hindari. Detik perpisahan itu semakin dekat. Biasa, aku tetap tegar dengan seribu macam gundah. Kali ini, rasa gundah itu berbeda. Aku tak ingin mengatakan selamat tinggal, karena aku tak akan sanggup terpisah. Tak sanggup bertanya akankah ada kebahagiaan seperti tempat ini. Mungkinkah ada tempat lain, yang memberikan rasa resah pada setiap hati sang bunda saat matahari mereka bersandar pada malam. Ramuannya tak kutemukan hingga detik perpisahan. 
Jabatan berhenti pada Sekretaris Redaksi di akhir perjalananku. Akhir perjalanan sejarahku bersamanya. 16 Januari 2010.


Hingga, kesulitan menjadi gula yang manis bagiku.
Hingga, kecewa menjadi semangat bagiku.
Hingga, gundah menjadi kebahagiaan terindah bagiku.
Hingga, tangisan menjadi impian tertinggi yang tak akan luput dari tidurku.
Hingga, aku, dia, mereka dan para pecinta satu tempat itu, menjadi lebih bijaksana.

(Sudut Bumi, Maret 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar