Rabu, 16 November 2011

Al- Osmani Harus Dikenal



Unik, kuning dan hijau yang mencolok, melambangkan warna suku melayu. Arsitektur yang masih terjaga dalam nilai- nilai bangunan Timur Tengah, India, Spanyol dan China.Berbeda dengan Mesji Raya Al- Mashun yang dikenal dan ramai dikunjungi oleh masyarakat.
Peninggalan sejarah islam ditandai dengan berdirinya kerajaan- kerajaan islam di Medan yang dahulunya dikenal dengan sebutan kesultanan di Sumatera Timur. Selain istana kerajaan dan gedung kerapatan sultan, dibangun pula mesjid sebagai tempat beribadah para penghuni istana. Kesultanan Deli meninggalkan dua bangunan Mesjid, yaitu Mesjid Al- Osmani dan Mesjid Raya Al-Mashun.
            Bangunan yang berdiri sejak 1857, pada masa kerajaan melayu yang dipimpin oleh Sultan Osman Perkasa Alam (1850-1858) terletak di Jalan Yos Sudarso Km 18, Kelurahan Pekan Labuhan, Kecamatan Medan Labuhan, Medan. Memiliki jarak 19 km dari pusat kota Medan. Bagian barat kecamatan ini, berbatasan dengan Kecamatan Medan Marelan. Bagian timur, berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang. Sedangkan bagian utara, berbatasan dengan Belawan dan di Selatan berbatasan dengan Kecamatan Deli. Wilayah ini termasuk wilayah dataran rendah alluvial yang terbentuk dari sedimentasi Sungai Deli yang mengalir di daerah ini.
            “Pada masa Sultan Osman perkasa Alam, berdiri sebuah pemukiman kesultanan di wilayah pelabuhan. Ketika itu pusat pemerintahannya berada dilabuhan Deli, pesisir timur Sumatera. Berdasarkan letak geografisnya, itu sebabnya mesjid ini dibangun sebagai tempat ibadah Sultan dan para pedagang yang singgah. Tapi sangat disayangkan, masih banyak masyarakat kota Medan yang belum mengetahui mesjid tertua dan pertama di kota Medan ini,” tutur Badan Kenaziran Mesjid (BKM) Al- Osmani, Ahmad Fahruni.
            Ornamen melayu juga tampak kental pada ukiran yang menempel di bawah atap dan seng mesjid. Pucuk rebung, nama dari ornamen yang terukir. Ukiran pucuk rebung dipakai untuk istana dan rumah panggung adat melayu. Kuning dan hijau tidak hanya menghiasi dinding, tiang, beton, mimbar juga senada dengan dinding. Ruangan untuk mengambil wudhu, terpisah dari bangunan utama mesjid. Bedug berumur 38 tahun yang digunakan sebagai tanda berbuka pada saat bulan ramadhan, terdapat di sisi luar mesjid. Perpustakaan yang berbentuk rumah panggung juga menjadi bagian dari bangunan ini.
            Bermotif batang bambu yang dibentuk persegi dengan motif bunga pada ujungnya. Sebelah barat, dua menara berdiri tegak dengan tinggi masing- masing enam meter dan dirancang berlubang- lubang. Dinding kolam air wudhu di design tinggi, berfungsi pula sebagai reservoir yang berdenah delapan. Posisi bak air dipasang pancuran untuk berwudhu dengan atap pyramidal tumpuk dua yang sisinya persegi delapan. Diantara atap atas dan bawah, terdapat kontstruksi papan kayu berlubang- lubang rapat dan runcing. Kolom penyangga atap berbentuk silindris langsing.
            Rancangan unik bergaya india terletak pada kubah. Kubah terbuat dari kuningan dengan berat 2,5 ton dan berwarna coklat. Motif kubah diukir dengan motif ulat bulu dan kupu- kupu, menyatu pada bawah kubah, khas india. Sementara itu, kaligrafi dan lukisan bagian dalam kubah memiliki kesamaan motif dan warna dengan Mesjid raya Al- Mashun.
            Ruang utama mesjid berdenah empat persegi panjang. Setiap sisi persegi memiliki pintu, kecuali sisi barat karena terdapat mihrab. Ornamen China, dapat terlihat pada pintu- pintu ini. Bergeometris. Pintu bagian tengah berdaun dua dengan hiasan geometris. Ketiga pintu lainnya terdapat di bagian utara, timur dan selatan. Pada masa kerajaan, pintu- pintu ini hanya digunakan oleh para raja. “Sedangkan rakyat masuk melalui empat pintu kecil yang mengapit pintu utama sisi utara dan selatan. Pintu- pintu ini berornamen China karena seorang pengusaha, bernama Tjong A Fie memiliki kerjasama dengan pihak kesultanan,” jelas Fahruni.
            Hal lain yang terdapat pada mesjid ini adalah pekuburan wakaf yang berasitektur seperti makam Aceh. Terdapat lima makam raja deli yang dikuburkan, yaitu Tuanku Panglima Pasutan (Raja deli IV), Tuanku Panglima Gandar (Raja deli V), Sultan Amaluddin Perkasa Alam (Raja deli VI), Sultan Osma perkasa dan Sultan Mahmud Perkasa Alam.
            Setelah Sultan Osmani wafat, luas wilayah mesjid memiliki perubahan pada masa Putra Sultan Osmani, Sultan Mahmud Perkasa Alam. Luas awal 16 x 16 meter, menjadi 26 x 26 meter. Hal ini disebabkan kemakmuran pesat dalam bidang perkebunan yang berdampak pada pembangunan mesjid. “Tahun 1870- 1872, mesjid ini menjadi bangunan permanent dengan mempercayakan arsitek yang berasal dari German dan Belanda. Batu- batu dari Eropa dan Persia didatangkan untuk mempercantik mesjid,” tutur Fahruni.
            1886, di masa kepemimpinan yang sama, terjadi pemindahan istana yang berada di depan mesjid labuhan ke Kampung Bahari. Pemindahan istana dikarenakan bertambahnya persekutuan kebun tembakau di Negeri Deli dan disebabkan karena pemukiman Melayu yang berada di sepanjang pesisir tidak dapat berkembang pesat. Sultan Mahmud Perkasa juga membangun istana di tengah kota, Istana Maimoon. Dalam kurun waktu yang sama, Mesjid Raya Al- Mashun juga dibangun.
            Fahruni mengatakan bahwa dengan adanya pemindahan pusat pemerintahan, keberadaan mesjid Al- Osmani tidak lagi menjadi tempat peribadatan utama bagi Sultan. “Seluruh fungsi kesultanan bergeser ke Medan Putri atau yang di sebut Kota Medan pada saat ini,” katanya.

“Omak aku pulaaaaaaaaNg………!!!!!!”

Langkah ini telah kembali ketempat semula, tubuh mulai terasa kaku karena ulah satu perjalanan asing. Aku tetap masih tak mengerti mengapa aku bisa sampai ke suatu tempat yang tak pernah terduga. Ntah nekat atau diri ini yang telah gila. Tak tahu apa yang aku pikirkan saat itu, hingga pekerjaan itu dengan leluasa memberi aku semangat untuk mengerjakannya. Bagiku pekerjaan itu sangat tak asing lagi. Masalahnya, tempat itu yang sangat…sangat…sangat…sangat...asing bagiku. Pekerjaan dimana harus menemui sekelumit orang-orang di suatu daerah tertentu yang telah ditetapkan, dengan puluhan pertanyaan dan memakai tehnik wawancara untuk mencapai tujuan dari pekerjaan. Seorang diri.
Tak pernah terpikirkan atau mungkin berkhayal untuk dapat bersilaturrahmi ke tanah batak di kabupaten samosir yang terletak di daerah sumatera utara. Tepatnya di kecamatan Nainggolan, kelurahan Pananggangan. Rute lebih jelas yaitu dari kota Medan harus menempuh jalan selama empat jam dengan bus. Lalu berlayar kira-kira 45 menit mengarungi Danau terbesar kedua didunia, Danau Toba. Lanjut pada perjalanan darat ke pangururan hingga dua jam. Tambuh satu setengah jam dengan bus hingga ke kecamatan Nainggolan. Tak ada angkutan darat, laut, apalagi udara yang memasang jadwal perjalanannya langsung ke Nainggolan dari pulau Samosir. Harus menggunakan jasa angkot dua kali hingga sampai ke Nainggolan.
Kesabaran hampir lenyap. Logat mengalami perubahan yang sangat pesat. Dengan kesabaran yang masih tersisa, otak mulai berpikir untuk tidak melanjutkan perjalanan seorang diri. Bermodal takut, aku dan temanku yang masih tinggal di bus memutuskan untuk mengarungi tanah batak itu berdua. Keputusan bekerjasama dan sama-sama bekerja dengan nirwan harus memperpanjang perjalanan lagi. Perjalananku batal untuk sementara waktu dan berbelok ke desa karta. Desa Holbung. Menunggang angkot selama 45 menit sampailah di dermaga kecil nan indah dipinggiran sisi Mogang. Kehidupan lain danau Toba. Dermaga kayu, dengan sebuah sampan kecil terparkir dikakinya. Bukit-bukit hijau yang hampir terjangkau mengirimkan angin semilir langsung pada rongga hati. Damai. Ah, tapi sepertinya cuaca sedang iri padaku. Awan kelam mulai terkembang disekujur langit. Bukit-bukit hijau mendadak berkabut tebal, lalu bermandikan molekul H2O yang tetuang tumpah. Langkah kaki menjauh, Dermaga mendadak tak berpenghuni. Sampan sudah harus meninggalkan dermaga kayu. Terpal biru melindungi aku, nirwan, tiga penumpang lainnya, tetapi tidak pada si nakhoda sampan. Nakhoda harus puas bermandikan hujan untuk melihat jalan yang tak beraspal tanpa rambu. Bersama tatapan kagum, aku meninggalkan dermaga kayu menuju kaki bukit yang sedang berkabut. Saat itu pukul 15.38 WIB.
Sebelum angkutan laut bercat biru dengan lis merah disekelilingnya itu sampai pada peraduan dermaga yang dituju, hujan reda. Suasana terkungkung terpal segera tergantikan oleh luasnya danau dan tingginya perbukitan yang masih meninggalkan sekelumit kabut putih tipis. Hingga waktu mengirim kami ke dermaga yang di maksud. Uap yang dihasilkan sang hujan, membuat angka kredibilitas suhu udara menurun. Jaket segera bersatu padu di tubuh.
“Ayo masuk.” Empunya rumah mempersilahkan kami untuk segera menghuni rumah berdinding papan.
Pamplet bercat putih dengan tinta hitam bertuliskan “KEPALA DESA HOLBUNG” tertancap pada halamannya, meyakinkan rumah itu harus segera kami singgahi.
“Makasih bu,” jawaban singkat dari kami secara bersamaan.
Tanpa memperpanjang waktu, kami menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan kami didesa tersebut. Istri dari sang kepala desa menyambut kami dengan baik. Wawancara warga, dan urusan administrasi lainnya kami selesaikan dengan cepat. Waktu sebanyak 15 menit kami buang untuk menikmati seruan ombak danau. Batu sebagai tanggul penahan ombak menjadi tempat kami bersila. Cerita ringan saling kami lontarkan. Kembali pada peraduan tempat kami melepas lelah malam ini. Kedatangan malam kami sambut dengan menikmati hidangan makan malam bersama anggota keluarga yang sangat asing bagi kami dan sedikit bertukar cerita tentang kehidupan yang telah kami jalani. Malam meninggi, mata segera terpejam dengan lolongan anjing yang sangat akrab ditelinga.
Subuh yang indah. Udara dingin masih mencekam. Mata tak lagi dalam buaian mimpi. Bersama dua anak kepala desa beranjak ke pinggiran danau dengan perlengkapan mandi. Bukan karena air danau yang terlalu dingin, tapi entah mengapa niat untuk mandi mendadak berada pada tingkat nilai yang paling rendah. Danau mengeluarkan uapnya, lalu terbang meninggalkan birunya danau. Waktu berlalu setelah 45 menit danu menjadi teman yang indah pagi itu. Lagi- lagi keindahan alam memperlihatkan pertunjukannya. Sang raja api sedikit demi sedikit menaiki tahtahnya. Sinarnya menerangi seisi danau. Sunrise terjadi dipandangan. Tubuh tak berkutik saat mata menikmati indahnya lukisan alam yang terjadi. Panorama itu ku tinggalkan sejenak. Bersiap karena akan segera beranjak ke desa lain. Desa Pananggangan. Dengan perahu yang sama, kami menyebrangi danau lagi. Kali ini hanya berdua bersama nirwan dan si nakhoda. Perahu mulai berlayar. Lambaian tangan dari keluarga pak Kades mewakili kata selamat jalan yang tak terangkai dari mulut mereka. Sang raja api kini hampir sempurna pada ketinggiannya. Terkadang tertutupi oleh awan yang mengepul tebal dan terkadang sinarnya sangat membakar kulit. Hatiku hanya bisa berkata bahwa pagi ini sangat indah.
Waktu berlalu selama 60 menit. Dermaga telah terlihat dari kejauhan. Bertanya menjadi jadwal setelah beranjak dari perahu. Mereka bilang Desa yang kami tuju masih jauh, jika ditempuh dengan berjalan kaki.
“Inda dong motor tu sadun,” tutur laki-laki paruh baya.
“Anggo mardalan, dao dope?” ku Tanya lagi.
“Dao ma,” Jawabnya.
Terngiang dihati kalau mother’s language yang telah digurui dari orangtua ku, kini telah di praktekkan dilapangan. Langkah kami lanjutkan hingga ke persimpangan jalan. Seorang bapak menawarkan jasa becaknya. Kami terima, walau hanya sampai suatu tempat yang tak begitu jauh. Tapi lumayan untuk menghemat tenaga dalam melanjutkan perjalanan selanjutnya.
“Kira-kira berapa jauh lagi pak desanya?”
“Ah, tak begitu jauh lagi. Setengah jam tak sampe kalo berjalan kaki,” jelasnya dengan logat batak.
Kami mengikuti jalan. Pembongkaran makam orangtuanya menjadi alasan wanita bersanggul dengan khas pakaian kebaya itu, untuk datang kembali ke desa yang juga kami tuju. Dia menjadi teman perjalanan. Berbeda dengan desa pertama yang kami kunjungi, desa Pananggangan adalah desa yang sangat luas. Dengan setengah jiwa kami terus menanjak, berbelok, mengikuti jalan terjal berbatu yang ada. Hingga sampai pada puncak bukit yang sangat indah. Bagaimana tidak, seluruh panorama alam danau toba sangat jelas di pandang mata dari bukit ini. Sangat menawan. Air danau terus memancarkan kilau yang terpantul dari terik mentari. Sangat eksotis. Benar-benar mengagumkan. Awan putih mempererat keindahan lukisan alamnya. Tak peduli pada lelah yang menyerang. Terus melangkah.
Bodohnya, aku tak menyangka kalau wanita itu ternyata tak pernah tahu dimana rumah kepala dusun dari desa tersebut. Hati mulai resah, sepertinya ada yang tidak beres dengan perjalanan ini. Dengan segera aku mencari “kepala desa Pananggangan” pada phonebook ku yang ku dapat dari seorang pria muda yang mengenalnya.
“Hallo…bu saya sudah di desa Pananggangan. Rumah ibu dimananya?”tanyaku
“Sekarang posisi kamu dimana?” dia bertanya balik.
“Sekarang saya di…. (terdiam sambil melihat disekeliling). Saya juga nggak tahu bu, sekarang saya dimana,” jawabku bingung.
“Ada simpang tiga habis rumah warga pertama, habis itu belok kekiri. Ikuti aja jalan menurun sampe dapat sungai. Jalan terus sampe dapat kebun kopi. Nanti Tanya lagi sama warga disitu, mereka tau itu,” jelasnya panjang.
Aku masih tak tahu dengan peta yang dia jelaskan. Percuma juga bertanya pada wanita yang bersama dengan kami, dia sama sekali tak tahu menahu tentang daerah itu, walau itu kampungnya. Pria setengah baya datang dengan motor crossnya. Wanita itu tak panjang kata, pertanyaan dimana sebenarnya rumah sang Kades langsung menjadi kata pertama yang keluar dari rongga mulutnya. Hampir air yang diproduksi oleh mata yang kumiliki mengalir ke permukaan. Kami NYASAR. Tak tanggung-tanggung, kami nyasar hingga beberapa kilometer. Menurut penjelasan pria tersebut kami telah jauh dari tempat yang dimaksud. Kami berbalik arah. Berjalan menyusuri hutan dan pinggiran tebing yang terjal. Tak jauh berjalan, pria lain, datang menghampiri dan menwarkan bantuan. Kereta yang dia miliki membawa kami ke persimpangan yg dimaksud. Lumayanlah untuk menghemat tenaga beberapa kilo. Jalan yang menanjak dan menurun terjal menyebabkan angkutan tak dapat sampai kesana.
Engsel kaki hampir mengalami depresi. Akhirnya sampai juga. Seperti biasa, wawancara warga, dan urusan administrasi lainnya kami selesaikan dengan cepat. Suguhan buah yang memiliki fisik berduri tajam pada kulitnya dengan aroma tajam menjadi ciri khasnya, kami lahap dengan lezatnya. Plus hasil dari petikan kebun sendiri, menambah rasa asyiknya.
Masih pada siang yang sama. Kami beranjak dari kampung yang memiliki nuansa bukit dengan hamparan tumbuhan kopi. Lagi-lagi melewati hutan, monyet yang beratraksi dari pohon satu ke pohon satunya. Tak lupa pada kawanan anjing, beserta gerombolan kerbau pendek (orang-orang mengenalnya babi) yang hilir mudik di antara ilalang yang ada. o iya, si kerbau nan besar (yang ini kerbau beneran) juga ada disana.
Mentari telah mencekam. Pandangan memudar. Aku tak sanggup lagi untuk melanjutkan perjalanan. Benar-benar pada puncak kehausan dan kelelahan. Penderitaan kini sempurna. Otak ini tak sedikitpun menyentuh ingatan untuk membawa air mineral. Tumbuhan berduri yang memiliki tinggi mencapai hampir satu meter, menaungi aku yang telah terbaring lemah. Nafas mulai teratur kembali, perjalanan ku lanjutkan. Tapi daya hanya bertahan di beberapa langkah saja. Kembali terbaring. Kali ini di sembarang tempat, tanpa naungan. Dengan pandangan samar, ku lihat nirwan menungguku. Begitu seterusnya hingga beberapa kali. Perjuangan panjang akhirnya sampailah pada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa. Tak sangka segila itu. Dan tak pernah menyangka pula bahwa, omak aku pulaaaaaaaaNg………!!!!!! walau engsel tulang mengalami depresi berat.

Manusia VS Manusia

jika di tanya aku akan lebih memilih menjadi malaikat. Tongkat yang tergenggam erat pada tangan yang dapat merubah apapun di dunia ini. Sepasang sayap indah menghiasi punggung, berterbangan diantara udara dan bertabrakan dengan polusi. Walau tak sering, tapi pasti selalu di puji dan di sanjung oleh makhluk ciptaan tuhan yang katanya paling sempurna itu. Atau menjadi rerumputan yang selalu mengikuti perjalanan arah angin. Tumbuh diantara pepohonan diatas tanah yang hanya basah jika di siram hujan. Walau tak di agungkan. Selalu di injak- injak, setidaknya tidak di hina oleh makhluk ciptaan tuhan yang katanya paling sempurna itu. Manusia.
Menjadi hinaan manusia memang sudah tak dapat di hindarkan lagi. Takdir sebutannya. Takdir pula yang mengantarkan aku menjadi ciptaan manusia. Aku tak pernah tahu karena tak pernah diberi tahu mengapa penciptaan yang tak ku tahu pula di ruangan mana aku tercipta harus terjadi. Seandainya saja aku juga sempurna seperti tuhan menciptakan mereka, tak akan ada rahasia dimana, kapan dan mengapa aku harus di ciptakan oleh makhluk tuhan yang katanya paling sempurna itu. Manusia.
Otak untuk berfikir, kaki untuk berjalan, mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, bahkan mulut untuk mengungkap segalanya, tak aku miliki. Tak ada panca indra yang melekat. Sepertinya aku tercipta secara illegal. Bagaimana tidak, yang ku tahu jika mereka menciptakan sesuatu, mereka akan gencar mencari wartawan untuk mewawancarai mereka. Lalu, memelas untuk di beritahu ke seluruh dunia bahwa mereka telah menciptakan sesuatu. Tapi mengapa saat aku diciptakan, mereka tak sibuk untuk mencari segudang sanjungan atau minimal mencari kata- kata “hebat” yang terucap dari ribuan bibir makhluk yang dikatakan sempurna itu. Lagi- lagi aku memang harus mendapat takdir yang buruk rupanya.
Tak jarang aku mendapat cacian, makian, amarah yang membludak karena benturan antara kekesalan dan emosional yang telah mencapai puncak. Kejengkelan.
“dasar setan....”
“Tak punya hati,” terlontar dari dari mulut seorang mahasiswi muda yang bergelut di bidang jurnalis.
Bagaimana aku bisa punya hati jika tidak diciptakan untuk memilikinya.
“ya mau gimana lagi, kalau datanya udah hilang kena virus kita harus ulang semuanya dari awal. Tak ada cara lain karena kita tidak punya pertinggalnya,” sambung mahasiswi yang juga memiliki bidang yang sama.
“gimana aku bisa terima ini semua, kamu tahu sendiri kan, kalau kita udah kerja keras dalam menyelesaikannya dan sekarang hilang. Lelah aja belum hilang,” ketusnya panjang.
Itu hanya sebagian contoh kecil dari hinaan yang aku terima dari sebuah bibir anak manusia.
Setan? Benarkah aku sehina setan? Atau wujudku yang seperti setan, sehingga mereka sering menyebut aku seperti itu? Aku benar- benar tak mengerti mengapa levelku setingkat dengan setan itu.
Aku hidup bersama dengan kumpulan berbagai jenis data penting di sebuah ruangan persegi empat yang dilengkapi dengan elektron- elektron canggih dan dipantulkan dari luar angkasa. Computer atau laptop manusia menyebutnya. Bersarang lalu memakan dan menginfeksikan data- data yang telah tersusun rapi dalam sebuah folder adalah tugasku. Tak ada kata kenyang bagiku. Aku hanya tahu bahwa tugasku hanya menghancurkan semuanya. Tak tersisa.
Ku tak peduli. Tak ada belas kasihan, karena penciptaku tak pernah memberikan pelajaran tentang bagaimana berbelas kasih.
“mengapa bisa seperti ini? Mengapa kalian tak bekerja dengan teliti?”
“saat kami ingin buat backup-nya data sudah tak bisa diselamatkan lagi pak. Kami juga gak tahu bahwa virus telah masuk dan menghilangkan data kita,” jelas seorang karyawan kepada atasannya.
“data itu digunakan siang ini, bagaimana mungkin kita dapat menyelesaikan semuanya dengan waktu sesingkat ini. Dasar virus sialan,” ungkapnya.
Aku juga tak pernah diberi pengertian oleh penciptaku tentang perbedaan umur. Kapanpun, dimanapun dan siapapun dia, jika ada target yang empuk aku akan melahapnya sebagai menu utama. Tak akan tersisa sebagai makanan penutup. Tak penting sekalipun mereka memasang muka yang memelas kepadaku. Kejam, berbahaya, teroris atau mungkin predator menjadi penghargaan yang telah aku terima dari manusia- manusia yang kesal jika terusik olehku.
Lelah dengan aksi terror dariku. mereka, manusia lain mencoba untuk memusnahkan aku. Mencari penawar yang dahsyat pula. Mencoba mengalahkan penciptaku. Tak dapat melakukan aksi lagi karena manusia lain telah mendapatkan penawar yang menghadang aku dipintu masuk file. Bahkan memusnahkan aku dengan keji. Itu lebih terhormat dari pada aku menjadi hinaan yang seharusnya tak aku dapatkan, karena aku memang diciptakan sebagai predator file. Terlahir dari pikiran keji manusia. Pemusnahan aku adalah hal terindah bagi mereka yang membenciku.
Penciptaku tak dapat berbuat apa- apa lagi. Dia hanya dapat menyembunyikan tangannya yang kotor dibalik wajah yang dibalut dengan balutan anti rasa malu.
Sementara si penemu anti virus. manusia lain, akan mengangkat wajahnya setinggi mungkin agar mendapat pujian bahkan awards karena telah melahirkan penawar yang ampuh. Benarkah mereka, makhluk yang dikatakan sempurna itu memiliki tujuan hidup untuk saling menjatuhkan? Mementingkan diri sendiri dan mencari keagungan?

"Teruntuk Ayah & Bunda tercinta"

Ayah, egokah aku?
Bunda, salahkah aku?
Saat aku tak peduli ke khawatiran yang telah kalian gadaikan demi aku?

Malam begitu mudah berlalu, aku masih terduduk di tempat ini...
Tempat dimanna pena ku menghabiskan tintanya...
Tempat dimana aku dapat terlihat cemas dalam merangkai kata2 yg akan di informasikan...
Tempat dimana aku dapat merasakan kasih sayang orang asing yg menjadi keluarga dlm sekejap...
Ya... Keluargaku mendadak bertambah...

Ayah, berdosakah aku?
Bunda, menyebalkankah aku?
Saat mata telah terjaga dan fisik dalam buaian mimpi...
aku dengan kejam merampasnya...

Tak setiap hari aku lakukan tetapi....
terlalu sering aku perbuat..

123???

Semua manusia berlomba menjadi yang terdepan di dalam hidupnya. Bahkan tak pernah membayangkan harus berada di urutan kedua ataupun ketiga. Hidup bukanlah sebuah takdir yang di telah digariskan oleh sang pencipta, melainkan pilihan. Dan pilihanku telah aku tetapkan 20 tahun silam.
Sebuah tangan tergenggam dengan jari telunjuk menjulur dari arah tiga meter didepanku, mengisyaratkan agar aku segera menuju kesana.
“Mau kemana bu?”
“Ke arah selatan, kantor pemerintah kota.”
Kaki dengan sepatu hitam berhak lima centi, segera menopang badan yang di lucuti pakaian khas berwarna coklat untuk menaiki angkutan roda tiga yang baru saja di stop olehnya. Penumpangku hanya membutuhkan kesabaran sebanyak lima belas menit untuk sampai kekantor pemerintah kota di arah selatan dari persimpangan jalan utama. Bibir merahnya tak banyak berbicara. Pandangannya hanya tertuju pada satu arah kedepan. Kosong. Cemas juga tidak. Apalagi perasaan tergesa-gesa, sama sekali tak menyentuh wajahnya.
“Pegawai di Pemkot bu?”
“Ia,” jawabnya sangat singkat dan padat.
“Jam segini apa belum terlambat bu?”
“Ah, sudah biasa. Tidak apa-apa.”
“Udah lama bekerja disana bu?”
“Bisa dikatakan sudah lama juga, sekitar tiga belas tahunan,” jawabnya lagi.
Jika diperhatikan lebih seksama, wanita ini pasti telah menjadi seorang manusia yang terdepan. Mendapat peringkat pertama dalam sebuah perlombaaan meraih kedudukan. Bisa juga disebut derajat atau pangkat kehidupan. Tentunya dihormati berbagai kalangan masyarakat. Orang-orang sekarang menyebutnya gaya glamour atau lebih modern dengan sebutan fashionable.
Gemerlap sang raja api turut memperjelas pesona kilau cahaya batu permata yang terpantul dari batu kristal pada jari manisnya. Aku terus mengkayuh pedal becak dalam siraman mentari tepat diatas kepala. Tepat pada pagar bercat putih yang berdiri tegak, becak kuberhentikan. Wanita itu turun tanpa isyarat apapun. Mendekatiku, lalu memberikan lembaran-lembaran rupiah yang telah diraupnya selama 13 tahun dalam campuran oksigen moral yang tak seimbang.
Sama halnya dengan aku dan orang-orang dimuka bumi lainnya. Pilihan hidup juga terjadi pada wanita itu. Jika pilihan wanita tersebut menjadi orang terdepan, maka kelihatannya ia sukses dengan pilihannya. Hidup dengan derajat yang paling baik. Menjadi yang pertama, sehingga enggan mendapat peringkat kedua dalam nilai kedudukan, derajat ataupun pangkat. Apalagi mengarungi derajat kehidupan sebagai peringkat ketiga, derajat terbawah seperti aku. Menapaki kedudukan sebagai seorang pilot pesawat beroda tiga. Siapa yang mau? Menjadi pemenang terakhir dari sebuah perlombaan.
Mendayung pedal sepeda seiring dengan arah rantai besi yang hampir putus karena faktor usia. Mengukur jalan beraspal hitam yang terkadang hanya basah jika disiram hujan. Tapi inilah pilihanku. Beradu pada perlombaan moral dan berharap dapat meraih posisi pertama, walau harus menelan kekalahan di posisi ketiga pada nilai sebuah derajat kehidupan.
Tak hanya aku yang bergelut pada derajat diurutan ketiga. Teman-temanku juga. Banyak yang terkalahkan oleh kedudukan, tetapi mendapat peringkat pertama dalam perlombaan moral. Bagaimana tidak, saat embun belum menyentuh bumi, saat ribuan pasang mata masih terpejam dalam buaian mimpi, si penjual sayur telah merelakan kedua matanya terbuka dan meringankan langkahnya menuju tempat peraduan tawar-menawar terjadi. Jika saja dia terlambat, maka seluruh kaum hawa tak akan dapat menyuguhkan segarnya menu sayuran di pagi hari.
Teman sederajatku yang lain. Seseorang yang selalu bercengkrama dengan debu jalanan. Ya, dialah Seorang petugas kebersihan kota yang harus membersihkan jalan raya dari tindak tanduk perbuatan manusia yang tidak bertanggungjawab, saat barisan cahaya lentera masih enggan untuk mati. Membuang sampah sembarangan. Mengerjakan tanggungjawab yang seharusnya dapat dikerjakan lebih ringan jika kesadaran dari si pelaku lebih tinggi.
Pahit memang, jika kriteria seorang pemenang dalam sebuah kehidupan harus diukur dari sudut nominalitas. Pikirku tetap berbeda tentang penilaian kehidupan. Pikirku tetap pada mengapa 20 tahun silam, aku lebih memilih kemenangan moral dari pada harus menikmati kemenangan menjadi seseorang dalam limpahan rupiah rakyat.
“Pak, mobil saya rusak tapi saya harus segera kekantor. Bisa tolong antarkan saya secepat mungkin agar tidak terlambat,” ucap penumpang ku yang lain dengan dasi dan kemeja yang tampak sepadan dipakainya.
“Naiklah, karena kita akan menjadi yang pertama, bukan kedua ataupun ketiga.”

Senja Kemarin

Merah langit jatuh pada peraduan…
Merajut dari akhir pertemuan…
Tak tahu harus berkata “sampai jumpa” atau “selamat tinggal”…
Senja kemarin…

***
Embun jatuh dan menyentuh titik bumi kala pagi. Siang hari, embun tergantikan oleh mentari yang bertahta dengan gagahnya dan melemah kala posisi tergantikan oleh senja merah mulai tampak di sudut barat bumi. Senja itu pula, aku melepaskan iringan langkah kakinya dari kota ini. Kota ku.

Mereka bilang bahwa waktulah yang akan menjawab semuanya. Tapi selama 13.968 jam telah bergeser pada rotasinya, waktu yang mereka banggakan masih tak dapat memberikan penjelasan apapun, bahkan tak berkutik atau sekedar membukakan sedikit rongga untuk mengisyaratkan bahwa ini harus berakhir. Hanya bersimpuh pada pandangan. Hingga senja kemarin luluh dalam naungan kelam. Bisu. Tanpa kata. Tanpa senyum, kala itu. Hanya pertanyaan besar dari tatapan sepasang mata yang dimilikinya.

Bongkahan-bongkahan air berbentuk angka nol mengalir tak terbendung dari sudut mata bercelakku, sebagai tanda bahwa dengan segera waktu akan merenggut pertemuan. Semakin jauh. Hingga pandangan menjadi lamur dan berubah menjadi hal yang biasa. Bahkan sangat biasa, sejak itu. Senja kemarin.

Cukup. Tak perlu menunggu apapun lagi pada penjelasan skiptisnya. Tatapan akhir pun tak sanggup menjelaskan ribuan pertanyaan dan pengharapan. Jawabannya hanya realistis. Tak ada yang lain. Hanya itu jawaban singkat yang aku tangkap dari obrolan canggung di bawah sebuah pohon rindang, sebelum senja kemarin berakhir atas nama perpisahan. Bukan atas nama yang lain.

Celoteh dari puluhan kendaraan umum dan angkutan lainnya, menghasilkan suara riuh yang tak ramah di telinga. Ketika mata basahku terperangkap oleh pandangan matanya, samar-samar terdengar enam jenis huruf keluar dari rongga mulutnya, yaitu ucapan “I K H L A S”.

Sebelumnya, berkali-kali dengan selang waktu yang tak begitu lama, ia selalu mengatakan padaku, hari ini adalah terakhir aku berada di kota ini. Akan ada lambaian perpisahan yang terjadi pukul 18.00 WIB nanti.

“Aku tahu,” hanya itu jawabku singkat.

Sesekali aku hanya menganggukkan kepala dan mengatakan “ehm” dengan seadanya, sebagai tanda bahwa tak ada masalah denganku untuk mendengarkan penjelasan tentang waktu kepulangannya, yang entah telah berapa kali ia ingatkan padaku (jelas itu tingkah bohongku). Walau bukan penjelasan itu yang ku inginkan.

Lambat laun, akhirnya dia hilang pada pelupuk mata yang masih saja terus bersimbah butiran-butiran air bening hingga terseok ke dataran pipi lalu di kikis oleh selembar tisu putih. Air yang di produksi oleh mata atas rasa yang mengilukan, sesekali tak mendarat dengan tepat di dasar tisu, harus terjatuh pada jilbab abu-abu yang sedang ku kenakan.

Waktu berhasil mengejar perpisahan, sejenak beku dalam lantunan detik. Berharap detik terakhir dapat memberikan penjelasan, sebelum bus yang ditumpanginya melaju ke kejauhan. Tapi, tetap saja, dia tak memberikan penjelasan atas masa lampau. Molekul polusi dari berbagai kotoran kendaraan menghancurkan tatapan akhir dari pengharapan terakhir. Penjelasan terakhir. Senja terakhir, Kemarin.
Saat itu pula, sejenak kenangan terurai dari alunan ingatan masa lalu. Yang baru terlewati dalam beberapa hari belakangan atau kenangan yang telah tersimpan selama 13.800 jam lalu.

Ah, semua telah berakhir dengan sejuta rahasia yang tertanam jauh pada lubuk hati kami. Aku dan dia. Tanpa berkata sampai jumpa atau setidaknya mengatakan hal yang paling menyakitkan sekalipun menurut ku, kata “selamat tinggal”.

Detik yang telah berlalu, hanya akan menapaki sejarah dan kenangan yang menyisakan soal tanpa harus memiliki jawabannya saat senja kemarin.

(Sudut bumi, 07 Juni 2010)

1 tempat

Adakah tempat yang membuat segala kesulitan menjadi gula yang manis?
Adakah tempat yang memposisikan kecewa sebagai samangat?
Adakah tempat yang nyaman saat gundah sebagai kebahagaian terindah?
Adakah tempat yang mempesona saat tangisan sebagai impian tertinggi?

Kau tahu…

Ada sepetak tempat yang dapat menyatukan orang asing menjadi keluarga. Isinya tidak cukup membuat para pencuri melirik. Tanpa mawar dan melati yang menghiasi pekarangan. Tanpa pagar besi sebagai pembatas. Atau hiasan batu keramik menawan pada ruangannya. Cukup sederhana dengan masing-masing sisi 8x6 meter. Hanya ada sebidang foto-foto kenangan. Struktur yang membedakan akan tugas dari setiap individu yang bergabung di dalamnya. Beberapa lemari sebagai penghuni lembaran-lembaran kertas. Tersusun rapi sebagai dokumentasi kearsipan. Karya yang telah tercetak sejak pertengahan Juli 2001 (12 Juli 2001) juga dipertontonkan rapi pada deretan satu sisi dindingnya. Dimulai dari karya tertua yang diikuti dengan karya pengkonsumsi nilai waktu terendah. Harta lain yang dimilikinya berdiri tegak di bagian datar atas lemari. Masing-masing bertuliskan Pelatihan Tingkat Lanjut dari berbagai kota di Indonesia. Cendramata terindah bagi pembawanya.

Whiteboard juga ada. CPU dan computer yang masih rusak. Kali ini dindingnya di cat ungu. Seluruh lantai beralaskan karpet plastik. Rak sepatu. Piring. Gelas. Sendok. Alat pembersih lantai. Bahkan ember. Puncaknya, sebuah aluminium persegi empat yang dasarnya bercat putih dengan nuansa biru pada tulisan TEROPONG. Dilengkapi logo dan maskot di kanan kiri. Lainnya, secangkir emosi yang menghangatkan ruangan saat rapat berlanjut. Akan manis kembali saat sajian tawa yang lepas mendarat dengan mendadak. Terkadang tanpa henti. Berbagai jenis penyebabnya. Tapi bagiku, dia dan mereka itu adalah harta yang sangat penting.

Tak ada harta, tetapi karya nyata yang diberikan olehnya. Tempat itu hanya menyisakan rasa rindu jika perjalanan itu telah terhenti. Dia, tempat itu hanya dapat memberi aroma kenangan saat harus meninggalkannya dalam genggaman sahabat. Tempat itu, hanya memberikan tinta emas kepada setiap pecintanya. Lalu menggoreskan ilmu dalam setiap denting kehidupan. Hanya satu tempat.
Kesulitan? Aku rasa banyak, tapi tak sebanyak lelucon yang diberikan mpok saat suasana serius. Tak sebanyak hinaan nakal yang terlontar dari setiap sudut bibir anggota yang berujung pada senyuman. Pastinya, tak sebanyak kenangan yang telah tercipta untuk dapat dikenang kelak.

Kecewa? Rasa yang kerap dicicipi saat profesionalitas tak dapat dipertanggungjawabkan. Hanya aku atau dia yang tersisa. Mereka??? hilang bersama kerapuhan masalah. Tak apa-apa, aku masih baik-baik saja. Harus tetap bertahan. Kata “semangat” yang terbisik di hati mungkin sedikit mengobati. Seseorang pernah mengatakan padaku bahwa kesabaran akan membuahkan hasil yang luar biasa. Benar apa yang dikatakan olehnya. Sedikit demi sedikit aku mengkonsumsi kesabaran dalam relung jiwa. Ikhlas.

Gundah? Seperti racun yang menjelma menjadi obat. Akan sangat menolong jika digunakan sesuai anjuran dan sebaliknya, akan sangat berbahaya jika salah dalam penggunaannya. Sering dianggap sebagai masalah yang tak berdampak, tetapi sangat mempengaruhi tempat itu. Kerap raut wajah berubah menjadi tak enak saat gundah ada. Lebih sering karena program yang direncanakan tak terlaksana atau melampaui akhir batas waktu yang ditetapkan. Masih banyak yang menyalahgunakannya. Mereka tak meramu cara menghilangkan gundah, tapi menjauh darinya.

Tangisan? Jangan pernah bertanya itu. Karena tak akan luput dari perjalanan di tempat ini. Bulatan air yang terbentuk disudut mata menjadi hal yang biasa saat masalah menyerang kubu hati. Bisa karena kesulitan atau kecewa. Tak penting, serangan berasal dari dalam atau masalah muncul dari luar. Timbul dari sudut kanan, kiri, dari atas atau datang dari arah bawah. Secepat mungkin bulatan air akan dihapus oleh punggung tangan sang sahabat, kami. Tangisan itu juga akan tetap menjadi kenangan yang dapat dikenang kelak.

Enam tahun sejak dia muncul kepermukaan dari beberapa pikiran mahasiswa, baru aku mengenalnya. 27 April 2007. Masih cerah diingatan, saat aku mulai untuk mempelajari setiap sudut, hingga benar-benar hafal dari setiap inchi perjalanannya. Dan memulai perjalananku dalam sejarahnya. Merambat berbagai dunia jurnalistik.
Waktu memberikan posisi Purisdok (Pusat Riset dan Dokumentasi) yang di naungi Divisi Litbang di jabatan pertamaku. Urusan edit-mengedit setiap huruf, kata, baris, dan kalimat berita, menjadi pekerjaanku kemudian, Redaktur Bahasa di Divisi Redaksi. Lalu, Kewajiban menjalankan kepercayaan teman-teman sebagai PJ redaktur pelaksana di akhir tahun (6 September 2008) sebagai hadiah menurutku. Memang benar pepatah mengatakan “semakin tinggi pohon tumbuh maka semakin tinggi pula angin yang menerpanya”. Kini, aku hafal setiap millimeter diri dan tujuannya.

Tanggungjawab semakin terasa lebih di akhir tahun itu. Tak jarang malam masih menemuiku terlelap dalam buaian kata-kata yang akan dikonsumsi oleh pembaca. Atau terkadang berlarian diantara narasumber yang puas memberikan antrian panjang tanpa nomor. Menantang tangguh sang raja api yang menghasilkan cairan keringat diseluruh tubuh. Kemudian, mengusik lelah dengan goresan sang tinta pada lembaran-lembaran kertas dengan tulisan pada sudutnya “oleh: Elfa” atau sering juga tertulis panjang “oleh: Elfa Suharti Harahap”. Hanya itu bayaran yang berharga bagiku.

Masih di akhir tahun. Surat tugas telah ku terima. Tempat itu membawaku pada perjalanan ke satu kota gajah di ujung sumatera, kota Lampung (1-2 November 2008). Perjalanan nasional dengan menggandeng namanya. TEROPONG. Perjalanan impian bagi setiap anggotanya. Simposium melatarbelakangi kegiatan tersebut. Dosis tinta yang kumiliki semakin bertambah saat dunia nasional diraih dengan berbagai cita dan harapan.

Gundah tak dapat di hindari. Detik perpisahan itu semakin dekat. Biasa, aku tetap tegar dengan seribu macam gundah. Kali ini, rasa gundah itu berbeda. Aku tak ingin mengatakan selamat tinggal, karena aku tak akan sanggup terpisah. Tak sanggup bertanya akankah ada kebahagiaan seperti tempat ini. Mungkinkah ada tempat lain, yang memberikan rasa resah pada setiap hati sang bunda saat matahari mereka bersandar pada malam. Ramuannya tak kutemukan hingga detik perpisahan. 
Jabatan berhenti pada Sekretaris Redaksi di akhir perjalananku. Akhir perjalanan sejarahku bersamanya. 16 Januari 2010.


Hingga, kesulitan menjadi gula yang manis bagiku.
Hingga, kecewa menjadi semangat bagiku.
Hingga, gundah menjadi kebahagiaan terindah bagiku.
Hingga, tangisan menjadi impian tertinggi yang tak akan luput dari tidurku.
Hingga, aku, dia, mereka dan para pecinta satu tempat itu, menjadi lebih bijaksana.

(Sudut Bumi, Maret 2010)