Rabu, 16 November 2011

Senja Kemarin

Merah langit jatuh pada peraduan…
Merajut dari akhir pertemuan…
Tak tahu harus berkata “sampai jumpa” atau “selamat tinggal”…
Senja kemarin…

***
Embun jatuh dan menyentuh titik bumi kala pagi. Siang hari, embun tergantikan oleh mentari yang bertahta dengan gagahnya dan melemah kala posisi tergantikan oleh senja merah mulai tampak di sudut barat bumi. Senja itu pula, aku melepaskan iringan langkah kakinya dari kota ini. Kota ku.

Mereka bilang bahwa waktulah yang akan menjawab semuanya. Tapi selama 13.968 jam telah bergeser pada rotasinya, waktu yang mereka banggakan masih tak dapat memberikan penjelasan apapun, bahkan tak berkutik atau sekedar membukakan sedikit rongga untuk mengisyaratkan bahwa ini harus berakhir. Hanya bersimpuh pada pandangan. Hingga senja kemarin luluh dalam naungan kelam. Bisu. Tanpa kata. Tanpa senyum, kala itu. Hanya pertanyaan besar dari tatapan sepasang mata yang dimilikinya.

Bongkahan-bongkahan air berbentuk angka nol mengalir tak terbendung dari sudut mata bercelakku, sebagai tanda bahwa dengan segera waktu akan merenggut pertemuan. Semakin jauh. Hingga pandangan menjadi lamur dan berubah menjadi hal yang biasa. Bahkan sangat biasa, sejak itu. Senja kemarin.

Cukup. Tak perlu menunggu apapun lagi pada penjelasan skiptisnya. Tatapan akhir pun tak sanggup menjelaskan ribuan pertanyaan dan pengharapan. Jawabannya hanya realistis. Tak ada yang lain. Hanya itu jawaban singkat yang aku tangkap dari obrolan canggung di bawah sebuah pohon rindang, sebelum senja kemarin berakhir atas nama perpisahan. Bukan atas nama yang lain.

Celoteh dari puluhan kendaraan umum dan angkutan lainnya, menghasilkan suara riuh yang tak ramah di telinga. Ketika mata basahku terperangkap oleh pandangan matanya, samar-samar terdengar enam jenis huruf keluar dari rongga mulutnya, yaitu ucapan “I K H L A S”.

Sebelumnya, berkali-kali dengan selang waktu yang tak begitu lama, ia selalu mengatakan padaku, hari ini adalah terakhir aku berada di kota ini. Akan ada lambaian perpisahan yang terjadi pukul 18.00 WIB nanti.

“Aku tahu,” hanya itu jawabku singkat.

Sesekali aku hanya menganggukkan kepala dan mengatakan “ehm” dengan seadanya, sebagai tanda bahwa tak ada masalah denganku untuk mendengarkan penjelasan tentang waktu kepulangannya, yang entah telah berapa kali ia ingatkan padaku (jelas itu tingkah bohongku). Walau bukan penjelasan itu yang ku inginkan.

Lambat laun, akhirnya dia hilang pada pelupuk mata yang masih saja terus bersimbah butiran-butiran air bening hingga terseok ke dataran pipi lalu di kikis oleh selembar tisu putih. Air yang di produksi oleh mata atas rasa yang mengilukan, sesekali tak mendarat dengan tepat di dasar tisu, harus terjatuh pada jilbab abu-abu yang sedang ku kenakan.

Waktu berhasil mengejar perpisahan, sejenak beku dalam lantunan detik. Berharap detik terakhir dapat memberikan penjelasan, sebelum bus yang ditumpanginya melaju ke kejauhan. Tapi, tetap saja, dia tak memberikan penjelasan atas masa lampau. Molekul polusi dari berbagai kotoran kendaraan menghancurkan tatapan akhir dari pengharapan terakhir. Penjelasan terakhir. Senja terakhir, Kemarin.
Saat itu pula, sejenak kenangan terurai dari alunan ingatan masa lalu. Yang baru terlewati dalam beberapa hari belakangan atau kenangan yang telah tersimpan selama 13.800 jam lalu.

Ah, semua telah berakhir dengan sejuta rahasia yang tertanam jauh pada lubuk hati kami. Aku dan dia. Tanpa berkata sampai jumpa atau setidaknya mengatakan hal yang paling menyakitkan sekalipun menurut ku, kata “selamat tinggal”.

Detik yang telah berlalu, hanya akan menapaki sejarah dan kenangan yang menyisakan soal tanpa harus memiliki jawabannya saat senja kemarin.

(Sudut bumi, 07 Juni 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar