Selasa, 27 Januari 2015

Banjir ... Banjir ... Banjir ...!

Lima Kecamatan di Langkat Terendam Ban­jir, Tapsel Dilanda Banjir dan Longsor, Kota Medan Dikepung Banjir, Se­jum­lah Ken­da­raan Mogok Akibat Medan Banjir, dan masih banyak lagi headline berita yang menu­liskan informasi tentang banjir di Kota Medan dan Sumatera Utara lebih luasnya.
Banjir yang telah terjadi dalam beberapa pekan belakangan ini membuat banyak ma­sya­rakat resah. Khususnya untuk masyara­kat yang menjadi korban banjir di Kabupaten Langkat. Menurut informasi yang diperoleh dari Harian Analisa Jumat (16/01), banjir yang terjadi di Kabu­paten Langkat merendam hingga lima kecematan, antara lain Kecama­tan Tanjung Pura, Kecamatan Sawit Sebe­rang, Kecamatan Batang Serangan, Kecama­tan Hinai, dan Kecamatan Wampu.
Dari masing-masing kecamatan, sebanyak 7.775 rumah warga terendam air di 22 desa. Fenomena ini belum berhenti setelah beberapa hari berada di pos pengungsian. Kelanjutan akibat dari banjir akan membuat para korban menderita berbagai penyakit. Banjir juga membuat anak-anak tidak dapat bersekolah sebagaimana mestinya. Seluruh aktivitas dipastikan terhambat. Akibat paling fatal, banjir tentu saja terus mengancam jiwa masyarakat.
Melihat lebih khusus pada masalah banjir, Medan sendiri belum terbebas dari masalah yang sama. Di berbagai ruas jalan dan lingkungan rumah masih terancam dengan genangan air. Sebut saja di kawasan Medan Barat yang digenangi air setinggi 60 centimeter. Di beberapa kawasan lain, seperti di Jalan Letda Sujono juga tak jauh berbeda.
Masalah banjir bukan menjadi fenomena asing. Bahkan, masalah ini lambat laun telah menjadi hal yang lumrah. Lumrah karena banjir hampir setiap tahun terjadi di wilayah yang sama. Setiap tahun pula penyelesaian banjir tak kunjung selesai. Bisa dikatakan, Medan lambat laun akan seperti ibu kota dengan masalah banjir yang tak kunjung selesai kala debit hujan meninggi.
Masih segar di dalam ingatan bahwa Jakarta pernah mengalami banjir besar pada tahun 2002, 2007, dan awal 2013 silam. Banjir yang melanda Jakarta cukup mengkha­watirkan karena membuat dampak negative, baik dari segi pembangunan dan bidang usa­ha. Pemerintah Kota (Pemko) harus menam­bah banyak anggaran untuk melaku­kan perbaikan fasilitas umum di banyak tem­pat.
Lantas, pertanyaan yang paling penting dari masalah ini adalah, sampai kapan penyelesaian banjir ditangani secara serius? Banjir bukan sekedar ancaman yang dapat dipan­dang sebelah mata. Ritual selalu mengungsi bagi para korban tidak dapat menjadi solusi aman.
 Korban tidak ingin selalu diberi bantuan secara logistik. Korban membutuhkan bantuan secara real. Maksudnya, penanganan atau solusi mengatasi banjir adalah bantuan yang selama ini diharapkan dapat diselesaikan oleh pihak terkait.
Kita tahu, kita tidak dapat mencegah hujan karena hujan adalah fenomena alam. Curah hujan yang tinggi akan membuat volume air ikut meninggi di daratan. Daerah yang sering terkena banjir biasanya terjadi di daratan wilayah muara sungai yang posisinya rendah mendekati permukaan air laut. Secara umum, air yang tergenang semakin lama semakin terserap oleh tanah dan dan mengalir ke laut.
Demikianlah siklus air di alam ketika terjadi musim hujan dengan curah hujan yang tinggi. Masalah yang terjadi selama ini sebaliknya. Air yang tergenang tidak mele­wati siklus seharusnya. Air berhari-hari tergenang dan sulit terserap ke tanah. Perlu kita pertanyakan adakah yang salah dengan penyerapan tanah yang semestinya terjadi.
Bermula dari Penanggulangan Sampah
Alasan terjadinya banjir di Sumut dan Medan salah satunya tidak lain karena penanggulangan sampah. Ini adalah masalah yang paling mendasar sekaligus paling kompleks di kota terbesar ketiga di Indonesia. Penduduk Medan dan Sumut lebih luasnya semakin bertambah dari tahun ke tahun. Dengan kata lain, debit sampah pun tidak dapat dipungkiri akan semakin bertambah.
Pengelolaan dan penanggulangan di Kota Medan khususnya dirasa sangat lama. Rumusan masalah penanggulangan sampah tidak efektif. Terlihat dari banyaknya sampah yang bertumpuk di pinggir jalan Kota Medan. Mungkin kita tidak akan melihat sampah yang menumpuk di wilayah jantung kota. Namun, sampah begitu banyak terlihat pada beberapa kawasan yang kurang mendapat perhatian pemerintah.
Belum lagi pelayanan dari Peme­rintah Kota (Pemko). Pelayanan yang lambat menjadi perhatian penting. Sering kali sampah baru diangkut pada siang hari. Sedangkan di akhir minggu, sampah jarang sekali diang­kut. Sampah sudah pasti menum­puk jika pengangkutan tidak berjalan setiap hari. Akibat paling sederhana dari tindakan ini akan menyebabkan lingkungan yang kurang menye­nangkan bagi masyarakat, seperti bau yang tidak sedap dan pemanda­ngan yang buruk karena sampah bertebaran dimana-mana.
Masalah semakin rumit dan sulit disaat masyarakat tidak sadar akan pentingnya sungai. Tidak jarang masyarakat yang tinggal di kawasan sungai lebih memilih membuang sampahnya ke sungai dibandingkan menggu­nakan jasa pengangkutan sampah Pemko. Dampak terhadap lingkungan sudah sangat jelas jika hal ini tetap dipertahankan. Cairan dari sampah yang diserap tanah akan masuk ke dalam drainase atau sungai. Berbagai orga­nisme termasuk ikan dapat mati sehingga be­be­rapa spesies akan lenyap, hal ini meng­akibatkan berubahnya ekosistem perairan biologis.
Dampak yang lebih luas akan berakibat pada sektor pariwisata. Siapa wisatawan yang ingin berkun­jung jika melihat sebuah kota dipenuhi dengan sampah di setiap sudut jalannya. Ini akan membuat wisata­wan tidak nyaman berada di kota tersebut. Wisatawan yang merasa apatis terhadap sampah di Kota Medan pastinya mempengaruhi pendapatan berbagai pajak dan beragam retribusi yang akan mempengaruhi pem­bangunan.
Serius
Penduduk Kota Medan telah mencapai diatas dua juta. Sedang Sumut telah mencapai 13,22 juta jiwa. Angka ini akan terus me­ningkat dan penanganan sampah tidak dapat diundur lebih lama. Keseriusan peme­rintah merupakan gerbang harapan paling utama. Dinas Kebersihan Kota Medan sebagai lembaga yang bertanggung jawab diharapkan dapat memiliki fungsi dan kewenangan yang jelas, sehingga sampah selalu menjadi prioritas kerja, bukan hanya program semata.
Koordinasi antara pihak Pemko dan kecamatan merupakan corong komunikasi yang baik untuk mensinkronkan informasi apa yang sebenarnya terjadi di lapangan. Setiap kecamatan dapat mengontrol sampah di wilayahnya untuk dilaporkan ke Pemko. Di sisi lain, diantara tindakan-tindakan yang seharusnya dilakukan, saling menjaga lingkungan dan mengontrol menjadi hal yang paling disarankan. ***
(http://analisadaily.com/news/read/banjir-banjir-banjir/100838/2015/01/22)