Senin, 09 April 2012

Naiknya BBM Untuk Siapa?

Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi dan Tarif Dasar Listrik (TDL) antara lima persen hingga sepuluh persen sepertinya menjadi keputusan yang tidak dapat dihindari lagi  oleh pemerintah. Keputusan ini tentunya akan mempengaruhi menaikkan angka inflasi sesuai dengan skenario kenaikan BBM itu sendiri. Inflasi diperkirakan akan mengalami kenaikan sebesar  6,8 persen jika BBM bersubsidi naik Rp 1.500 dan 7,1 persen jika naik Rp 2.000.
Tindakan kenaikan BBM dan TDL yang dinilai tidak dapat dihindari lagi karena alasan untuk menyalamatkan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang kian menipis, agar tidak mengganggu pembiayaan program-program untuk rakyat, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan dan lain-lain, tentunya masih mengundang berbagai pertanyaan. Sejauh ini, APBN yang ada masih saja terlihat berarak dibagi- bagi untuk kepentingan yang tidak jelas dan bersifat non-populis. Terdaftar untuk tahun 2011, pemerintah mengeluarkan APBN cukup banyak untuk merenovasi gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menghabiskan dana miliaran rupiah. Sebesar Rp. 20,3 Miliar untuk melakukan renovasi ruang Badan Anggaran (Banggar), Rp. 18,5 Miliar renovasi ruang rapat paripurna, dimana Rp. 4,1 Miliar dilakukan untuk penyediaan layar digital dan Rp. 2,4 Miliar untuk instalasi listrik. Rp. 2 Miliar dikeluarkan untuk merenovasi toilet, Rp. 1,5 Miliar pengadaan kalender untuk 560 anggota DPR.
Di tahun ini, DPR kembali menganggarkan dana Rp. 300 Juta untuk membeli fasilitas presensi mesin Finger print, dimana sebelumnya tercatat sebesar 1 Miliar. Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta juga akan kembali dipercantik dengan penggantian marmer sebesar Rp 80 Miliar. Padahal, lantai gedung tersebut masih tampak baik. Biaya renovasi lantai itu terlihat dalam Anggaran Pengeluaran dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta 2012 dengan Kode Rekening 1.2000201118 dan uraian renovasi lantai gedung DPRD lama. Jumlah tersebut lebih besar dibandingkan dana untuk belanja barang dan jasa DPRD DKI 2012 yang hanya Rp 79,9 Miliar. Bahkan, gedung DPRD lama juga akan dihubungkan dengan gedung DPRD baru yang saat ini sedang dalam proses penyelesaian. Bukankah tindakan tersebut telah jauh dari prinsip efektifitas dan efisiensi anggaran yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Pemerintahan yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Alasan Yang Timpang
Melihat fakta yang ada, alasan dan kenyataan tentu saja masih timpang. Dana APBN yang harus diselamatkan atas nama rakyat, masih belum memberikan pembuktian. Tahun lalu, alokasi APBN Rp 300 Triliun, dimana sebesar  60 persen habis untuk pengeluaran rutin seperti gaji pegawai, pejabat, dan biaya operasional. Hanya sebesar 20 persen lagi digunakan untuk membayar hutang beserta bunganya, dan hanya 20 persen digunakan untuk dana pembangunan rakyat. Jika dihitung, maka rata-rata pengeluaran rutin yang dialokasikan APBD provinsi dan kabupaten kota, mencapai 81 persen, dan sampai ke rakyat sebesar 19 persen. Nilai tersebut jauh dari cukup, karena setidaknya kesejahtraan sosial akan tercipta jika jumlah anggaran rutin itu tidak boleh lebih dari 40 persen.
Kenaikan BBM banyak menuai pertanyaan atas alasan yang ril karena sudah pasti memicu meningkatnya nilai- nilai harga di seluruh sektor pangan dan sandang. Tentu, masyarakat masih terus bertanya- tanya tentang kebijakan dalam menyelamatkan APBN yang berguna untuk populasi masyarakat Indonesia atau untuk penyelamatan APBN yang nantinya akan digunakan kepentingan non-populis?
Kenaikan seluruh komoditas jelas akan mengakibatkan penurunan daya beli atau pendapatan riil. Dampaknya memang sangat bervariasi, tergantung pada pola konsumsi dan sensitifitas dari harga masing-masing komoditi terhadap kenaikan harga BBM. Namun, rumah tangga miskin umumnya relatif terproteksi akan tiga hal. Pertama, pangsa konsumsi langsung BBM relatif kecil. Kedua, konsumsi komoditi, seperti pengeluaran untuk transportasi. Ketiga, Komoditi yang dominan dalam pola konsumsi rumah tangga kelas bawah yaitu beras, yang akan bergerak tinggi. Tingkat kemiskinan pun kemudian mengalami peningkatan.
BBM yang telah mengalami beberapa kali kenaikan selama pemerintahan Indonesia Bersatu Jilid II, seharusnya bisa menjadi cerminan. Pendekatan Compensating Variation dapat menjadi salah satu ramuan untuk masalah seperti ini. Dimana, kelompok termiskin mendapatkan kompensasi yang jumlahnya lebih besar dari kebutuhan untuk mempertahankan tingkat kesejahteraan yang sama seperti sebelum kenaikan harga BBM. Meski masih ada keluarga yang mengalami turun status menjadi miskin akibat kenaikan BBM ini, setidaknya rumah tangga ini tidak eligible mendapatkan kompensasi. Tetapi secara netto, jumlah yang terangkat lebih besar dibandingkan yang mengalami penurunan pendapatan.
Atau setidaknya, pemerintah berupaya mengurangi dan membatasi pemakaian dari kendaraan pribadi, seperti motor dan mobil. Bukan hanya mendatangkan sebanyak tujuh juta motor setiap tahunnya tanpa melakukan pembatasan. Pembatasan pemakaian kendaraan pribadi dapat mempengaruhi kebijakan dalam menahan pembengkakan atau jebolnya kuota BBM, karena nilai pemasukan akan sama dengan nilai pengeluaran. Setelah meminimilkan jumlah kendaraan, melakukan peningkatan jumlah infrastruktur angkutan massa akan memberikan keseimbangan dari masyarakat yang tidak memiliki kendaraan. Contohnya saja menambah rel kereta api yang saat ini hanya sepanjang empat ribu kilometer. Padahal, pada zaman Belanda, rel kereta api tercatat sepanjang 12 ribu kilometer. Alokasi dana APBN yang dikatakan pihak pemerintah untuk pembiayaan infrastruktur dan pembangunan rakyat bukankah seharusnya sudah dapat dicanangkan sebelumnya untuk hal- hal penting tersebut, sehingga tidak perlu mengambil kebijakan menaikkan BBM? ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar