Selasa, 27 Januari 2015

Banjir ... Banjir ... Banjir ...!

Lima Kecamatan di Langkat Terendam Ban­jir, Tapsel Dilanda Banjir dan Longsor, Kota Medan Dikepung Banjir, Se­jum­lah Ken­da­raan Mogok Akibat Medan Banjir, dan masih banyak lagi headline berita yang menu­liskan informasi tentang banjir di Kota Medan dan Sumatera Utara lebih luasnya.
Banjir yang telah terjadi dalam beberapa pekan belakangan ini membuat banyak ma­sya­rakat resah. Khususnya untuk masyara­kat yang menjadi korban banjir di Kabupaten Langkat. Menurut informasi yang diperoleh dari Harian Analisa Jumat (16/01), banjir yang terjadi di Kabu­paten Langkat merendam hingga lima kecematan, antara lain Kecama­tan Tanjung Pura, Kecamatan Sawit Sebe­rang, Kecamatan Batang Serangan, Kecama­tan Hinai, dan Kecamatan Wampu.
Dari masing-masing kecamatan, sebanyak 7.775 rumah warga terendam air di 22 desa. Fenomena ini belum berhenti setelah beberapa hari berada di pos pengungsian. Kelanjutan akibat dari banjir akan membuat para korban menderita berbagai penyakit. Banjir juga membuat anak-anak tidak dapat bersekolah sebagaimana mestinya. Seluruh aktivitas dipastikan terhambat. Akibat paling fatal, banjir tentu saja terus mengancam jiwa masyarakat.
Melihat lebih khusus pada masalah banjir, Medan sendiri belum terbebas dari masalah yang sama. Di berbagai ruas jalan dan lingkungan rumah masih terancam dengan genangan air. Sebut saja di kawasan Medan Barat yang digenangi air setinggi 60 centimeter. Di beberapa kawasan lain, seperti di Jalan Letda Sujono juga tak jauh berbeda.
Masalah banjir bukan menjadi fenomena asing. Bahkan, masalah ini lambat laun telah menjadi hal yang lumrah. Lumrah karena banjir hampir setiap tahun terjadi di wilayah yang sama. Setiap tahun pula penyelesaian banjir tak kunjung selesai. Bisa dikatakan, Medan lambat laun akan seperti ibu kota dengan masalah banjir yang tak kunjung selesai kala debit hujan meninggi.
Masih segar di dalam ingatan bahwa Jakarta pernah mengalami banjir besar pada tahun 2002, 2007, dan awal 2013 silam. Banjir yang melanda Jakarta cukup mengkha­watirkan karena membuat dampak negative, baik dari segi pembangunan dan bidang usa­ha. Pemerintah Kota (Pemko) harus menam­bah banyak anggaran untuk melaku­kan perbaikan fasilitas umum di banyak tem­pat.
Lantas, pertanyaan yang paling penting dari masalah ini adalah, sampai kapan penyelesaian banjir ditangani secara serius? Banjir bukan sekedar ancaman yang dapat dipan­dang sebelah mata. Ritual selalu mengungsi bagi para korban tidak dapat menjadi solusi aman.
 Korban tidak ingin selalu diberi bantuan secara logistik. Korban membutuhkan bantuan secara real. Maksudnya, penanganan atau solusi mengatasi banjir adalah bantuan yang selama ini diharapkan dapat diselesaikan oleh pihak terkait.
Kita tahu, kita tidak dapat mencegah hujan karena hujan adalah fenomena alam. Curah hujan yang tinggi akan membuat volume air ikut meninggi di daratan. Daerah yang sering terkena banjir biasanya terjadi di daratan wilayah muara sungai yang posisinya rendah mendekati permukaan air laut. Secara umum, air yang tergenang semakin lama semakin terserap oleh tanah dan dan mengalir ke laut.
Demikianlah siklus air di alam ketika terjadi musim hujan dengan curah hujan yang tinggi. Masalah yang terjadi selama ini sebaliknya. Air yang tergenang tidak mele­wati siklus seharusnya. Air berhari-hari tergenang dan sulit terserap ke tanah. Perlu kita pertanyakan adakah yang salah dengan penyerapan tanah yang semestinya terjadi.
Bermula dari Penanggulangan Sampah
Alasan terjadinya banjir di Sumut dan Medan salah satunya tidak lain karena penanggulangan sampah. Ini adalah masalah yang paling mendasar sekaligus paling kompleks di kota terbesar ketiga di Indonesia. Penduduk Medan dan Sumut lebih luasnya semakin bertambah dari tahun ke tahun. Dengan kata lain, debit sampah pun tidak dapat dipungkiri akan semakin bertambah.
Pengelolaan dan penanggulangan di Kota Medan khususnya dirasa sangat lama. Rumusan masalah penanggulangan sampah tidak efektif. Terlihat dari banyaknya sampah yang bertumpuk di pinggir jalan Kota Medan. Mungkin kita tidak akan melihat sampah yang menumpuk di wilayah jantung kota. Namun, sampah begitu banyak terlihat pada beberapa kawasan yang kurang mendapat perhatian pemerintah.
Belum lagi pelayanan dari Peme­rintah Kota (Pemko). Pelayanan yang lambat menjadi perhatian penting. Sering kali sampah baru diangkut pada siang hari. Sedangkan di akhir minggu, sampah jarang sekali diang­kut. Sampah sudah pasti menum­puk jika pengangkutan tidak berjalan setiap hari. Akibat paling sederhana dari tindakan ini akan menyebabkan lingkungan yang kurang menye­nangkan bagi masyarakat, seperti bau yang tidak sedap dan pemanda­ngan yang buruk karena sampah bertebaran dimana-mana.
Masalah semakin rumit dan sulit disaat masyarakat tidak sadar akan pentingnya sungai. Tidak jarang masyarakat yang tinggal di kawasan sungai lebih memilih membuang sampahnya ke sungai dibandingkan menggu­nakan jasa pengangkutan sampah Pemko. Dampak terhadap lingkungan sudah sangat jelas jika hal ini tetap dipertahankan. Cairan dari sampah yang diserap tanah akan masuk ke dalam drainase atau sungai. Berbagai orga­nisme termasuk ikan dapat mati sehingga be­be­rapa spesies akan lenyap, hal ini meng­akibatkan berubahnya ekosistem perairan biologis.
Dampak yang lebih luas akan berakibat pada sektor pariwisata. Siapa wisatawan yang ingin berkun­jung jika melihat sebuah kota dipenuhi dengan sampah di setiap sudut jalannya. Ini akan membuat wisata­wan tidak nyaman berada di kota tersebut. Wisatawan yang merasa apatis terhadap sampah di Kota Medan pastinya mempengaruhi pendapatan berbagai pajak dan beragam retribusi yang akan mempengaruhi pem­bangunan.
Serius
Penduduk Kota Medan telah mencapai diatas dua juta. Sedang Sumut telah mencapai 13,22 juta jiwa. Angka ini akan terus me­ningkat dan penanganan sampah tidak dapat diundur lebih lama. Keseriusan peme­rintah merupakan gerbang harapan paling utama. Dinas Kebersihan Kota Medan sebagai lembaga yang bertanggung jawab diharapkan dapat memiliki fungsi dan kewenangan yang jelas, sehingga sampah selalu menjadi prioritas kerja, bukan hanya program semata.
Koordinasi antara pihak Pemko dan kecamatan merupakan corong komunikasi yang baik untuk mensinkronkan informasi apa yang sebenarnya terjadi di lapangan. Setiap kecamatan dapat mengontrol sampah di wilayahnya untuk dilaporkan ke Pemko. Di sisi lain, diantara tindakan-tindakan yang seharusnya dilakukan, saling menjaga lingkungan dan mengontrol menjadi hal yang paling disarankan. ***
(http://analisadaily.com/news/read/banjir-banjir-banjir/100838/2015/01/22)

Jumat, 11 Mei 2012

Memandang Amsterdam Di “Wajah” Medan



Tarian senja memang terlihat jelas di setiap goresan bangunannya, meski telah ditutupi dengan nuansa cat yang baru. Historis arsitekturnya mendominasi pemandangan diperadaban kota ini, menunjukkan bahwa wajah Amsterdam telah tergores dengan apik disini. Saat memandang kesebelah utara, terlihat Kantor Pos Medan dan Gedung Jakarta Llyod yang pada saat didirikan adalah sebuah bangunan kantor perusahaan pelayaran The Netherland Shipping Company. Dibangun pada tahun 1909-1911 oleh seorang arsitek bernama Snuyf yang dulu merupakan Direktur Jawatan Pekerjaan Umum Belanda untuk Indonesia pada masa pemerintahan Belanda. Bangunan satu lantai yang terlihat kokoh dan megah ini dibangun dengan konsep Neo Classic. Lantai dati tegel atau marmer berdimensi besar menambahkan kemegahan bangunan ini. Dinding terbuat dari bahan bata, sedangkan atapnya dari genteng. Berdiri disudut dari sebuah Lapangan jaunting kota, membuat bangunan yang memiliki luas bangunan 1200 M² dengan tinggi 20 m, panjang 60 m dan lebar 20 m tampak tak biasa.
Berpaling kesisi depannya, terlihat dua buah bank swasta yang dulunya merupakan gedung The Netherland Trading Company dan Nederlandsche Handel  Maatschappij dan sempat menjadi kantor Rotterdam’s Llyod sampai tahun 1929. Selain itu, ada pula Gedung Bank Indonesia yang terletak di sisi selatan, dimana dahulunya dipakai sebagai kantor Javasche Bank. Di bangun tahun 1910 oleh Firma Arsitek Hulswit and Fermont dari Weltevreden dan Ed Cuypers dari Amsterdam, gedung ini mengambil gaya klasik dengan beberapa ornamen gaya Jawa. Bangunan ini memang disesuaikan dengan iklim serta tingkat teknologi setempat. Wujud umum dari dari penampilan arsitektur The  Empire Style, memiliki denah yang simetris, satu lantai dan ditutup dengan atap perisai. Karakteristik lain dari gaya ini diantaranya: terbuka, terdapat pilar di serambi depan dan belakang, terdapat serambi tengah yang menuju ke ruang tidur dan kamar-kamar lain. Ciri khas dari gaya arsitektur ini yaitu adanya barisan pilar atau kolom  yang menjulang ke atas serta terdapat gevel dan mahkota di atas serambi depan dan belakang. Karakteristik The  Empire Style diambil berdasarkan, transparansi, ruang, cahaya dan udara. Hal ini dicapai melalui penggunaan bahan-bahan modern dan metode konstruksi, simetris dan pengulangan yaitu keseimbangan antara bagian-bagian yang tidak setara.



1918, Medan resmi menjadi Gemeente (Kota Praja) dengan Walikota Baron Daniel Mac Kay. Berdasarkan Acte van Schenking (Akte Hibah) Nomor 97 Notaris J.M. de-Hondt Junior, tanggal 30 Nopember 1918, Sultan Deli menyerahkan tanah kota Medan kepada Gemeente Medan, sehingga resmi menjadi wilayah di bawah kekuasaan langsung Hindia Belanda. Sejak itu, belanda membangun bangunan- bangunan tersebut dengan gaya arsitektur transisi sebagai pusat peradaban mereka yang menunjukkan bahwa mereka adalah masyarakat yang agraris, industri, dan informatif. Jika dicermati dari segi arsitekturnya, bangunan- bangunan tersebut menceritakan tentang hubungan yang agraris, industri dan informatif, baik dari segi letak bangunan yang berkiblat dari satu sisi, yaitu satu lapangan yang disebut sebagai lapangan Merdeka oleh masyarakat Medan dan saat ini menjadi pusat kota. Mengapa begitu? Karena, orang- orang Belanda selalu mendukung industri dan menggunakan bangunan- bangunan tersebut sebagai alat untuk memperlancar dan memudahkan pekerjaan mereka masing- masing. ***

Senin, 09 April 2012

Naiknya BBM Untuk Siapa?

Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi dan Tarif Dasar Listrik (TDL) antara lima persen hingga sepuluh persen sepertinya menjadi keputusan yang tidak dapat dihindari lagi  oleh pemerintah. Keputusan ini tentunya akan mempengaruhi menaikkan angka inflasi sesuai dengan skenario kenaikan BBM itu sendiri. Inflasi diperkirakan akan mengalami kenaikan sebesar  6,8 persen jika BBM bersubsidi naik Rp 1.500 dan 7,1 persen jika naik Rp 2.000.
Tindakan kenaikan BBM dan TDL yang dinilai tidak dapat dihindari lagi karena alasan untuk menyalamatkan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang kian menipis, agar tidak mengganggu pembiayaan program-program untuk rakyat, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan dan lain-lain, tentunya masih mengundang berbagai pertanyaan. Sejauh ini, APBN yang ada masih saja terlihat berarak dibagi- bagi untuk kepentingan yang tidak jelas dan bersifat non-populis. Terdaftar untuk tahun 2011, pemerintah mengeluarkan APBN cukup banyak untuk merenovasi gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menghabiskan dana miliaran rupiah. Sebesar Rp. 20,3 Miliar untuk melakukan renovasi ruang Badan Anggaran (Banggar), Rp. 18,5 Miliar renovasi ruang rapat paripurna, dimana Rp. 4,1 Miliar dilakukan untuk penyediaan layar digital dan Rp. 2,4 Miliar untuk instalasi listrik. Rp. 2 Miliar dikeluarkan untuk merenovasi toilet, Rp. 1,5 Miliar pengadaan kalender untuk 560 anggota DPR.
Di tahun ini, DPR kembali menganggarkan dana Rp. 300 Juta untuk membeli fasilitas presensi mesin Finger print, dimana sebelumnya tercatat sebesar 1 Miliar. Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta juga akan kembali dipercantik dengan penggantian marmer sebesar Rp 80 Miliar. Padahal, lantai gedung tersebut masih tampak baik. Biaya renovasi lantai itu terlihat dalam Anggaran Pengeluaran dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta 2012 dengan Kode Rekening 1.2000201118 dan uraian renovasi lantai gedung DPRD lama. Jumlah tersebut lebih besar dibandingkan dana untuk belanja barang dan jasa DPRD DKI 2012 yang hanya Rp 79,9 Miliar. Bahkan, gedung DPRD lama juga akan dihubungkan dengan gedung DPRD baru yang saat ini sedang dalam proses penyelesaian. Bukankah tindakan tersebut telah jauh dari prinsip efektifitas dan efisiensi anggaran yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Pemerintahan yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Alasan Yang Timpang
Melihat fakta yang ada, alasan dan kenyataan tentu saja masih timpang. Dana APBN yang harus diselamatkan atas nama rakyat, masih belum memberikan pembuktian. Tahun lalu, alokasi APBN Rp 300 Triliun, dimana sebesar  60 persen habis untuk pengeluaran rutin seperti gaji pegawai, pejabat, dan biaya operasional. Hanya sebesar 20 persen lagi digunakan untuk membayar hutang beserta bunganya, dan hanya 20 persen digunakan untuk dana pembangunan rakyat. Jika dihitung, maka rata-rata pengeluaran rutin yang dialokasikan APBD provinsi dan kabupaten kota, mencapai 81 persen, dan sampai ke rakyat sebesar 19 persen. Nilai tersebut jauh dari cukup, karena setidaknya kesejahtraan sosial akan tercipta jika jumlah anggaran rutin itu tidak boleh lebih dari 40 persen.
Kenaikan BBM banyak menuai pertanyaan atas alasan yang ril karena sudah pasti memicu meningkatnya nilai- nilai harga di seluruh sektor pangan dan sandang. Tentu, masyarakat masih terus bertanya- tanya tentang kebijakan dalam menyelamatkan APBN yang berguna untuk populasi masyarakat Indonesia atau untuk penyelamatan APBN yang nantinya akan digunakan kepentingan non-populis?
Kenaikan seluruh komoditas jelas akan mengakibatkan penurunan daya beli atau pendapatan riil. Dampaknya memang sangat bervariasi, tergantung pada pola konsumsi dan sensitifitas dari harga masing-masing komoditi terhadap kenaikan harga BBM. Namun, rumah tangga miskin umumnya relatif terproteksi akan tiga hal. Pertama, pangsa konsumsi langsung BBM relatif kecil. Kedua, konsumsi komoditi, seperti pengeluaran untuk transportasi. Ketiga, Komoditi yang dominan dalam pola konsumsi rumah tangga kelas bawah yaitu beras, yang akan bergerak tinggi. Tingkat kemiskinan pun kemudian mengalami peningkatan.
BBM yang telah mengalami beberapa kali kenaikan selama pemerintahan Indonesia Bersatu Jilid II, seharusnya bisa menjadi cerminan. Pendekatan Compensating Variation dapat menjadi salah satu ramuan untuk masalah seperti ini. Dimana, kelompok termiskin mendapatkan kompensasi yang jumlahnya lebih besar dari kebutuhan untuk mempertahankan tingkat kesejahteraan yang sama seperti sebelum kenaikan harga BBM. Meski masih ada keluarga yang mengalami turun status menjadi miskin akibat kenaikan BBM ini, setidaknya rumah tangga ini tidak eligible mendapatkan kompensasi. Tetapi secara netto, jumlah yang terangkat lebih besar dibandingkan yang mengalami penurunan pendapatan.
Atau setidaknya, pemerintah berupaya mengurangi dan membatasi pemakaian dari kendaraan pribadi, seperti motor dan mobil. Bukan hanya mendatangkan sebanyak tujuh juta motor setiap tahunnya tanpa melakukan pembatasan. Pembatasan pemakaian kendaraan pribadi dapat mempengaruhi kebijakan dalam menahan pembengkakan atau jebolnya kuota BBM, karena nilai pemasukan akan sama dengan nilai pengeluaran. Setelah meminimilkan jumlah kendaraan, melakukan peningkatan jumlah infrastruktur angkutan massa akan memberikan keseimbangan dari masyarakat yang tidak memiliki kendaraan. Contohnya saja menambah rel kereta api yang saat ini hanya sepanjang empat ribu kilometer. Padahal, pada zaman Belanda, rel kereta api tercatat sepanjang 12 ribu kilometer. Alokasi dana APBN yang dikatakan pihak pemerintah untuk pembiayaan infrastruktur dan pembangunan rakyat bukankah seharusnya sudah dapat dicanangkan sebelumnya untuk hal- hal penting tersebut, sehingga tidak perlu mengambil kebijakan menaikkan BBM? ***

Rabu, 16 November 2011

Al- Osmani Harus Dikenal



Unik, kuning dan hijau yang mencolok, melambangkan warna suku melayu. Arsitektur yang masih terjaga dalam nilai- nilai bangunan Timur Tengah, India, Spanyol dan China.Berbeda dengan Mesji Raya Al- Mashun yang dikenal dan ramai dikunjungi oleh masyarakat.
Peninggalan sejarah islam ditandai dengan berdirinya kerajaan- kerajaan islam di Medan yang dahulunya dikenal dengan sebutan kesultanan di Sumatera Timur. Selain istana kerajaan dan gedung kerapatan sultan, dibangun pula mesjid sebagai tempat beribadah para penghuni istana. Kesultanan Deli meninggalkan dua bangunan Mesjid, yaitu Mesjid Al- Osmani dan Mesjid Raya Al-Mashun.
            Bangunan yang berdiri sejak 1857, pada masa kerajaan melayu yang dipimpin oleh Sultan Osman Perkasa Alam (1850-1858) terletak di Jalan Yos Sudarso Km 18, Kelurahan Pekan Labuhan, Kecamatan Medan Labuhan, Medan. Memiliki jarak 19 km dari pusat kota Medan. Bagian barat kecamatan ini, berbatasan dengan Kecamatan Medan Marelan. Bagian timur, berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang. Sedangkan bagian utara, berbatasan dengan Belawan dan di Selatan berbatasan dengan Kecamatan Deli. Wilayah ini termasuk wilayah dataran rendah alluvial yang terbentuk dari sedimentasi Sungai Deli yang mengalir di daerah ini.
            “Pada masa Sultan Osman perkasa Alam, berdiri sebuah pemukiman kesultanan di wilayah pelabuhan. Ketika itu pusat pemerintahannya berada dilabuhan Deli, pesisir timur Sumatera. Berdasarkan letak geografisnya, itu sebabnya mesjid ini dibangun sebagai tempat ibadah Sultan dan para pedagang yang singgah. Tapi sangat disayangkan, masih banyak masyarakat kota Medan yang belum mengetahui mesjid tertua dan pertama di kota Medan ini,” tutur Badan Kenaziran Mesjid (BKM) Al- Osmani, Ahmad Fahruni.
            Ornamen melayu juga tampak kental pada ukiran yang menempel di bawah atap dan seng mesjid. Pucuk rebung, nama dari ornamen yang terukir. Ukiran pucuk rebung dipakai untuk istana dan rumah panggung adat melayu. Kuning dan hijau tidak hanya menghiasi dinding, tiang, beton, mimbar juga senada dengan dinding. Ruangan untuk mengambil wudhu, terpisah dari bangunan utama mesjid. Bedug berumur 38 tahun yang digunakan sebagai tanda berbuka pada saat bulan ramadhan, terdapat di sisi luar mesjid. Perpustakaan yang berbentuk rumah panggung juga menjadi bagian dari bangunan ini.
            Bermotif batang bambu yang dibentuk persegi dengan motif bunga pada ujungnya. Sebelah barat, dua menara berdiri tegak dengan tinggi masing- masing enam meter dan dirancang berlubang- lubang. Dinding kolam air wudhu di design tinggi, berfungsi pula sebagai reservoir yang berdenah delapan. Posisi bak air dipasang pancuran untuk berwudhu dengan atap pyramidal tumpuk dua yang sisinya persegi delapan. Diantara atap atas dan bawah, terdapat kontstruksi papan kayu berlubang- lubang rapat dan runcing. Kolom penyangga atap berbentuk silindris langsing.
            Rancangan unik bergaya india terletak pada kubah. Kubah terbuat dari kuningan dengan berat 2,5 ton dan berwarna coklat. Motif kubah diukir dengan motif ulat bulu dan kupu- kupu, menyatu pada bawah kubah, khas india. Sementara itu, kaligrafi dan lukisan bagian dalam kubah memiliki kesamaan motif dan warna dengan Mesjid raya Al- Mashun.
            Ruang utama mesjid berdenah empat persegi panjang. Setiap sisi persegi memiliki pintu, kecuali sisi barat karena terdapat mihrab. Ornamen China, dapat terlihat pada pintu- pintu ini. Bergeometris. Pintu bagian tengah berdaun dua dengan hiasan geometris. Ketiga pintu lainnya terdapat di bagian utara, timur dan selatan. Pada masa kerajaan, pintu- pintu ini hanya digunakan oleh para raja. “Sedangkan rakyat masuk melalui empat pintu kecil yang mengapit pintu utama sisi utara dan selatan. Pintu- pintu ini berornamen China karena seorang pengusaha, bernama Tjong A Fie memiliki kerjasama dengan pihak kesultanan,” jelas Fahruni.
            Hal lain yang terdapat pada mesjid ini adalah pekuburan wakaf yang berasitektur seperti makam Aceh. Terdapat lima makam raja deli yang dikuburkan, yaitu Tuanku Panglima Pasutan (Raja deli IV), Tuanku Panglima Gandar (Raja deli V), Sultan Amaluddin Perkasa Alam (Raja deli VI), Sultan Osma perkasa dan Sultan Mahmud Perkasa Alam.
            Setelah Sultan Osmani wafat, luas wilayah mesjid memiliki perubahan pada masa Putra Sultan Osmani, Sultan Mahmud Perkasa Alam. Luas awal 16 x 16 meter, menjadi 26 x 26 meter. Hal ini disebabkan kemakmuran pesat dalam bidang perkebunan yang berdampak pada pembangunan mesjid. “Tahun 1870- 1872, mesjid ini menjadi bangunan permanent dengan mempercayakan arsitek yang berasal dari German dan Belanda. Batu- batu dari Eropa dan Persia didatangkan untuk mempercantik mesjid,” tutur Fahruni.
            1886, di masa kepemimpinan yang sama, terjadi pemindahan istana yang berada di depan mesjid labuhan ke Kampung Bahari. Pemindahan istana dikarenakan bertambahnya persekutuan kebun tembakau di Negeri Deli dan disebabkan karena pemukiman Melayu yang berada di sepanjang pesisir tidak dapat berkembang pesat. Sultan Mahmud Perkasa juga membangun istana di tengah kota, Istana Maimoon. Dalam kurun waktu yang sama, Mesjid Raya Al- Mashun juga dibangun.
            Fahruni mengatakan bahwa dengan adanya pemindahan pusat pemerintahan, keberadaan mesjid Al- Osmani tidak lagi menjadi tempat peribadatan utama bagi Sultan. “Seluruh fungsi kesultanan bergeser ke Medan Putri atau yang di sebut Kota Medan pada saat ini,” katanya.

“Omak aku pulaaaaaaaaNg………!!!!!!”

Langkah ini telah kembali ketempat semula, tubuh mulai terasa kaku karena ulah satu perjalanan asing. Aku tetap masih tak mengerti mengapa aku bisa sampai ke suatu tempat yang tak pernah terduga. Ntah nekat atau diri ini yang telah gila. Tak tahu apa yang aku pikirkan saat itu, hingga pekerjaan itu dengan leluasa memberi aku semangat untuk mengerjakannya. Bagiku pekerjaan itu sangat tak asing lagi. Masalahnya, tempat itu yang sangat…sangat…sangat…sangat...asing bagiku. Pekerjaan dimana harus menemui sekelumit orang-orang di suatu daerah tertentu yang telah ditetapkan, dengan puluhan pertanyaan dan memakai tehnik wawancara untuk mencapai tujuan dari pekerjaan. Seorang diri.
Tak pernah terpikirkan atau mungkin berkhayal untuk dapat bersilaturrahmi ke tanah batak di kabupaten samosir yang terletak di daerah sumatera utara. Tepatnya di kecamatan Nainggolan, kelurahan Pananggangan. Rute lebih jelas yaitu dari kota Medan harus menempuh jalan selama empat jam dengan bus. Lalu berlayar kira-kira 45 menit mengarungi Danau terbesar kedua didunia, Danau Toba. Lanjut pada perjalanan darat ke pangururan hingga dua jam. Tambuh satu setengah jam dengan bus hingga ke kecamatan Nainggolan. Tak ada angkutan darat, laut, apalagi udara yang memasang jadwal perjalanannya langsung ke Nainggolan dari pulau Samosir. Harus menggunakan jasa angkot dua kali hingga sampai ke Nainggolan.
Kesabaran hampir lenyap. Logat mengalami perubahan yang sangat pesat. Dengan kesabaran yang masih tersisa, otak mulai berpikir untuk tidak melanjutkan perjalanan seorang diri. Bermodal takut, aku dan temanku yang masih tinggal di bus memutuskan untuk mengarungi tanah batak itu berdua. Keputusan bekerjasama dan sama-sama bekerja dengan nirwan harus memperpanjang perjalanan lagi. Perjalananku batal untuk sementara waktu dan berbelok ke desa karta. Desa Holbung. Menunggang angkot selama 45 menit sampailah di dermaga kecil nan indah dipinggiran sisi Mogang. Kehidupan lain danau Toba. Dermaga kayu, dengan sebuah sampan kecil terparkir dikakinya. Bukit-bukit hijau yang hampir terjangkau mengirimkan angin semilir langsung pada rongga hati. Damai. Ah, tapi sepertinya cuaca sedang iri padaku. Awan kelam mulai terkembang disekujur langit. Bukit-bukit hijau mendadak berkabut tebal, lalu bermandikan molekul H2O yang tetuang tumpah. Langkah kaki menjauh, Dermaga mendadak tak berpenghuni. Sampan sudah harus meninggalkan dermaga kayu. Terpal biru melindungi aku, nirwan, tiga penumpang lainnya, tetapi tidak pada si nakhoda sampan. Nakhoda harus puas bermandikan hujan untuk melihat jalan yang tak beraspal tanpa rambu. Bersama tatapan kagum, aku meninggalkan dermaga kayu menuju kaki bukit yang sedang berkabut. Saat itu pukul 15.38 WIB.
Sebelum angkutan laut bercat biru dengan lis merah disekelilingnya itu sampai pada peraduan dermaga yang dituju, hujan reda. Suasana terkungkung terpal segera tergantikan oleh luasnya danau dan tingginya perbukitan yang masih meninggalkan sekelumit kabut putih tipis. Hingga waktu mengirim kami ke dermaga yang di maksud. Uap yang dihasilkan sang hujan, membuat angka kredibilitas suhu udara menurun. Jaket segera bersatu padu di tubuh.
“Ayo masuk.” Empunya rumah mempersilahkan kami untuk segera menghuni rumah berdinding papan.
Pamplet bercat putih dengan tinta hitam bertuliskan “KEPALA DESA HOLBUNG” tertancap pada halamannya, meyakinkan rumah itu harus segera kami singgahi.
“Makasih bu,” jawaban singkat dari kami secara bersamaan.
Tanpa memperpanjang waktu, kami menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan kami didesa tersebut. Istri dari sang kepala desa menyambut kami dengan baik. Wawancara warga, dan urusan administrasi lainnya kami selesaikan dengan cepat. Waktu sebanyak 15 menit kami buang untuk menikmati seruan ombak danau. Batu sebagai tanggul penahan ombak menjadi tempat kami bersila. Cerita ringan saling kami lontarkan. Kembali pada peraduan tempat kami melepas lelah malam ini. Kedatangan malam kami sambut dengan menikmati hidangan makan malam bersama anggota keluarga yang sangat asing bagi kami dan sedikit bertukar cerita tentang kehidupan yang telah kami jalani. Malam meninggi, mata segera terpejam dengan lolongan anjing yang sangat akrab ditelinga.
Subuh yang indah. Udara dingin masih mencekam. Mata tak lagi dalam buaian mimpi. Bersama dua anak kepala desa beranjak ke pinggiran danau dengan perlengkapan mandi. Bukan karena air danau yang terlalu dingin, tapi entah mengapa niat untuk mandi mendadak berada pada tingkat nilai yang paling rendah. Danau mengeluarkan uapnya, lalu terbang meninggalkan birunya danau. Waktu berlalu setelah 45 menit danu menjadi teman yang indah pagi itu. Lagi- lagi keindahan alam memperlihatkan pertunjukannya. Sang raja api sedikit demi sedikit menaiki tahtahnya. Sinarnya menerangi seisi danau. Sunrise terjadi dipandangan. Tubuh tak berkutik saat mata menikmati indahnya lukisan alam yang terjadi. Panorama itu ku tinggalkan sejenak. Bersiap karena akan segera beranjak ke desa lain. Desa Pananggangan. Dengan perahu yang sama, kami menyebrangi danau lagi. Kali ini hanya berdua bersama nirwan dan si nakhoda. Perahu mulai berlayar. Lambaian tangan dari keluarga pak Kades mewakili kata selamat jalan yang tak terangkai dari mulut mereka. Sang raja api kini hampir sempurna pada ketinggiannya. Terkadang tertutupi oleh awan yang mengepul tebal dan terkadang sinarnya sangat membakar kulit. Hatiku hanya bisa berkata bahwa pagi ini sangat indah.
Waktu berlalu selama 60 menit. Dermaga telah terlihat dari kejauhan. Bertanya menjadi jadwal setelah beranjak dari perahu. Mereka bilang Desa yang kami tuju masih jauh, jika ditempuh dengan berjalan kaki.
“Inda dong motor tu sadun,” tutur laki-laki paruh baya.
“Anggo mardalan, dao dope?” ku Tanya lagi.
“Dao ma,” Jawabnya.
Terngiang dihati kalau mother’s language yang telah digurui dari orangtua ku, kini telah di praktekkan dilapangan. Langkah kami lanjutkan hingga ke persimpangan jalan. Seorang bapak menawarkan jasa becaknya. Kami terima, walau hanya sampai suatu tempat yang tak begitu jauh. Tapi lumayan untuk menghemat tenaga dalam melanjutkan perjalanan selanjutnya.
“Kira-kira berapa jauh lagi pak desanya?”
“Ah, tak begitu jauh lagi. Setengah jam tak sampe kalo berjalan kaki,” jelasnya dengan logat batak.
Kami mengikuti jalan. Pembongkaran makam orangtuanya menjadi alasan wanita bersanggul dengan khas pakaian kebaya itu, untuk datang kembali ke desa yang juga kami tuju. Dia menjadi teman perjalanan. Berbeda dengan desa pertama yang kami kunjungi, desa Pananggangan adalah desa yang sangat luas. Dengan setengah jiwa kami terus menanjak, berbelok, mengikuti jalan terjal berbatu yang ada. Hingga sampai pada puncak bukit yang sangat indah. Bagaimana tidak, seluruh panorama alam danau toba sangat jelas di pandang mata dari bukit ini. Sangat menawan. Air danau terus memancarkan kilau yang terpantul dari terik mentari. Sangat eksotis. Benar-benar mengagumkan. Awan putih mempererat keindahan lukisan alamnya. Tak peduli pada lelah yang menyerang. Terus melangkah.
Bodohnya, aku tak menyangka kalau wanita itu ternyata tak pernah tahu dimana rumah kepala dusun dari desa tersebut. Hati mulai resah, sepertinya ada yang tidak beres dengan perjalanan ini. Dengan segera aku mencari “kepala desa Pananggangan” pada phonebook ku yang ku dapat dari seorang pria muda yang mengenalnya.
“Hallo…bu saya sudah di desa Pananggangan. Rumah ibu dimananya?”tanyaku
“Sekarang posisi kamu dimana?” dia bertanya balik.
“Sekarang saya di…. (terdiam sambil melihat disekeliling). Saya juga nggak tahu bu, sekarang saya dimana,” jawabku bingung.
“Ada simpang tiga habis rumah warga pertama, habis itu belok kekiri. Ikuti aja jalan menurun sampe dapat sungai. Jalan terus sampe dapat kebun kopi. Nanti Tanya lagi sama warga disitu, mereka tau itu,” jelasnya panjang.
Aku masih tak tahu dengan peta yang dia jelaskan. Percuma juga bertanya pada wanita yang bersama dengan kami, dia sama sekali tak tahu menahu tentang daerah itu, walau itu kampungnya. Pria setengah baya datang dengan motor crossnya. Wanita itu tak panjang kata, pertanyaan dimana sebenarnya rumah sang Kades langsung menjadi kata pertama yang keluar dari rongga mulutnya. Hampir air yang diproduksi oleh mata yang kumiliki mengalir ke permukaan. Kami NYASAR. Tak tanggung-tanggung, kami nyasar hingga beberapa kilometer. Menurut penjelasan pria tersebut kami telah jauh dari tempat yang dimaksud. Kami berbalik arah. Berjalan menyusuri hutan dan pinggiran tebing yang terjal. Tak jauh berjalan, pria lain, datang menghampiri dan menwarkan bantuan. Kereta yang dia miliki membawa kami ke persimpangan yg dimaksud. Lumayanlah untuk menghemat tenaga beberapa kilo. Jalan yang menanjak dan menurun terjal menyebabkan angkutan tak dapat sampai kesana.
Engsel kaki hampir mengalami depresi. Akhirnya sampai juga. Seperti biasa, wawancara warga, dan urusan administrasi lainnya kami selesaikan dengan cepat. Suguhan buah yang memiliki fisik berduri tajam pada kulitnya dengan aroma tajam menjadi ciri khasnya, kami lahap dengan lezatnya. Plus hasil dari petikan kebun sendiri, menambah rasa asyiknya.
Masih pada siang yang sama. Kami beranjak dari kampung yang memiliki nuansa bukit dengan hamparan tumbuhan kopi. Lagi-lagi melewati hutan, monyet yang beratraksi dari pohon satu ke pohon satunya. Tak lupa pada kawanan anjing, beserta gerombolan kerbau pendek (orang-orang mengenalnya babi) yang hilir mudik di antara ilalang yang ada. o iya, si kerbau nan besar (yang ini kerbau beneran) juga ada disana.
Mentari telah mencekam. Pandangan memudar. Aku tak sanggup lagi untuk melanjutkan perjalanan. Benar-benar pada puncak kehausan dan kelelahan. Penderitaan kini sempurna. Otak ini tak sedikitpun menyentuh ingatan untuk membawa air mineral. Tumbuhan berduri yang memiliki tinggi mencapai hampir satu meter, menaungi aku yang telah terbaring lemah. Nafas mulai teratur kembali, perjalanan ku lanjutkan. Tapi daya hanya bertahan di beberapa langkah saja. Kembali terbaring. Kali ini di sembarang tempat, tanpa naungan. Dengan pandangan samar, ku lihat nirwan menungguku. Begitu seterusnya hingga beberapa kali. Perjuangan panjang akhirnya sampailah pada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa. Tak sangka segila itu. Dan tak pernah menyangka pula bahwa, omak aku pulaaaaaaaaNg………!!!!!! walau engsel tulang mengalami depresi berat.

Manusia VS Manusia

jika di tanya aku akan lebih memilih menjadi malaikat. Tongkat yang tergenggam erat pada tangan yang dapat merubah apapun di dunia ini. Sepasang sayap indah menghiasi punggung, berterbangan diantara udara dan bertabrakan dengan polusi. Walau tak sering, tapi pasti selalu di puji dan di sanjung oleh makhluk ciptaan tuhan yang katanya paling sempurna itu. Atau menjadi rerumputan yang selalu mengikuti perjalanan arah angin. Tumbuh diantara pepohonan diatas tanah yang hanya basah jika di siram hujan. Walau tak di agungkan. Selalu di injak- injak, setidaknya tidak di hina oleh makhluk ciptaan tuhan yang katanya paling sempurna itu. Manusia.
Menjadi hinaan manusia memang sudah tak dapat di hindarkan lagi. Takdir sebutannya. Takdir pula yang mengantarkan aku menjadi ciptaan manusia. Aku tak pernah tahu karena tak pernah diberi tahu mengapa penciptaan yang tak ku tahu pula di ruangan mana aku tercipta harus terjadi. Seandainya saja aku juga sempurna seperti tuhan menciptakan mereka, tak akan ada rahasia dimana, kapan dan mengapa aku harus di ciptakan oleh makhluk tuhan yang katanya paling sempurna itu. Manusia.
Otak untuk berfikir, kaki untuk berjalan, mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, bahkan mulut untuk mengungkap segalanya, tak aku miliki. Tak ada panca indra yang melekat. Sepertinya aku tercipta secara illegal. Bagaimana tidak, yang ku tahu jika mereka menciptakan sesuatu, mereka akan gencar mencari wartawan untuk mewawancarai mereka. Lalu, memelas untuk di beritahu ke seluruh dunia bahwa mereka telah menciptakan sesuatu. Tapi mengapa saat aku diciptakan, mereka tak sibuk untuk mencari segudang sanjungan atau minimal mencari kata- kata “hebat” yang terucap dari ribuan bibir makhluk yang dikatakan sempurna itu. Lagi- lagi aku memang harus mendapat takdir yang buruk rupanya.
Tak jarang aku mendapat cacian, makian, amarah yang membludak karena benturan antara kekesalan dan emosional yang telah mencapai puncak. Kejengkelan.
“dasar setan....”
“Tak punya hati,” terlontar dari dari mulut seorang mahasiswi muda yang bergelut di bidang jurnalis.
Bagaimana aku bisa punya hati jika tidak diciptakan untuk memilikinya.
“ya mau gimana lagi, kalau datanya udah hilang kena virus kita harus ulang semuanya dari awal. Tak ada cara lain karena kita tidak punya pertinggalnya,” sambung mahasiswi yang juga memiliki bidang yang sama.
“gimana aku bisa terima ini semua, kamu tahu sendiri kan, kalau kita udah kerja keras dalam menyelesaikannya dan sekarang hilang. Lelah aja belum hilang,” ketusnya panjang.
Itu hanya sebagian contoh kecil dari hinaan yang aku terima dari sebuah bibir anak manusia.
Setan? Benarkah aku sehina setan? Atau wujudku yang seperti setan, sehingga mereka sering menyebut aku seperti itu? Aku benar- benar tak mengerti mengapa levelku setingkat dengan setan itu.
Aku hidup bersama dengan kumpulan berbagai jenis data penting di sebuah ruangan persegi empat yang dilengkapi dengan elektron- elektron canggih dan dipantulkan dari luar angkasa. Computer atau laptop manusia menyebutnya. Bersarang lalu memakan dan menginfeksikan data- data yang telah tersusun rapi dalam sebuah folder adalah tugasku. Tak ada kata kenyang bagiku. Aku hanya tahu bahwa tugasku hanya menghancurkan semuanya. Tak tersisa.
Ku tak peduli. Tak ada belas kasihan, karena penciptaku tak pernah memberikan pelajaran tentang bagaimana berbelas kasih.
“mengapa bisa seperti ini? Mengapa kalian tak bekerja dengan teliti?”
“saat kami ingin buat backup-nya data sudah tak bisa diselamatkan lagi pak. Kami juga gak tahu bahwa virus telah masuk dan menghilangkan data kita,” jelas seorang karyawan kepada atasannya.
“data itu digunakan siang ini, bagaimana mungkin kita dapat menyelesaikan semuanya dengan waktu sesingkat ini. Dasar virus sialan,” ungkapnya.
Aku juga tak pernah diberi pengertian oleh penciptaku tentang perbedaan umur. Kapanpun, dimanapun dan siapapun dia, jika ada target yang empuk aku akan melahapnya sebagai menu utama. Tak akan tersisa sebagai makanan penutup. Tak penting sekalipun mereka memasang muka yang memelas kepadaku. Kejam, berbahaya, teroris atau mungkin predator menjadi penghargaan yang telah aku terima dari manusia- manusia yang kesal jika terusik olehku.
Lelah dengan aksi terror dariku. mereka, manusia lain mencoba untuk memusnahkan aku. Mencari penawar yang dahsyat pula. Mencoba mengalahkan penciptaku. Tak dapat melakukan aksi lagi karena manusia lain telah mendapatkan penawar yang menghadang aku dipintu masuk file. Bahkan memusnahkan aku dengan keji. Itu lebih terhormat dari pada aku menjadi hinaan yang seharusnya tak aku dapatkan, karena aku memang diciptakan sebagai predator file. Terlahir dari pikiran keji manusia. Pemusnahan aku adalah hal terindah bagi mereka yang membenciku.
Penciptaku tak dapat berbuat apa- apa lagi. Dia hanya dapat menyembunyikan tangannya yang kotor dibalik wajah yang dibalut dengan balutan anti rasa malu.
Sementara si penemu anti virus. manusia lain, akan mengangkat wajahnya setinggi mungkin agar mendapat pujian bahkan awards karena telah melahirkan penawar yang ampuh. Benarkah mereka, makhluk yang dikatakan sempurna itu memiliki tujuan hidup untuk saling menjatuhkan? Mementingkan diri sendiri dan mencari keagungan?

"Teruntuk Ayah & Bunda tercinta"

Ayah, egokah aku?
Bunda, salahkah aku?
Saat aku tak peduli ke khawatiran yang telah kalian gadaikan demi aku?

Malam begitu mudah berlalu, aku masih terduduk di tempat ini...
Tempat dimanna pena ku menghabiskan tintanya...
Tempat dimana aku dapat terlihat cemas dalam merangkai kata2 yg akan di informasikan...
Tempat dimana aku dapat merasakan kasih sayang orang asing yg menjadi keluarga dlm sekejap...
Ya... Keluargaku mendadak bertambah...

Ayah, berdosakah aku?
Bunda, menyebalkankah aku?
Saat mata telah terjaga dan fisik dalam buaian mimpi...
aku dengan kejam merampasnya...

Tak setiap hari aku lakukan tetapi....
terlalu sering aku perbuat..