Rabu, 16 November 2011

“Omak aku pulaaaaaaaaNg………!!!!!!”

Langkah ini telah kembali ketempat semula, tubuh mulai terasa kaku karena ulah satu perjalanan asing. Aku tetap masih tak mengerti mengapa aku bisa sampai ke suatu tempat yang tak pernah terduga. Ntah nekat atau diri ini yang telah gila. Tak tahu apa yang aku pikirkan saat itu, hingga pekerjaan itu dengan leluasa memberi aku semangat untuk mengerjakannya. Bagiku pekerjaan itu sangat tak asing lagi. Masalahnya, tempat itu yang sangat…sangat…sangat…sangat...asing bagiku. Pekerjaan dimana harus menemui sekelumit orang-orang di suatu daerah tertentu yang telah ditetapkan, dengan puluhan pertanyaan dan memakai tehnik wawancara untuk mencapai tujuan dari pekerjaan. Seorang diri.
Tak pernah terpikirkan atau mungkin berkhayal untuk dapat bersilaturrahmi ke tanah batak di kabupaten samosir yang terletak di daerah sumatera utara. Tepatnya di kecamatan Nainggolan, kelurahan Pananggangan. Rute lebih jelas yaitu dari kota Medan harus menempuh jalan selama empat jam dengan bus. Lalu berlayar kira-kira 45 menit mengarungi Danau terbesar kedua didunia, Danau Toba. Lanjut pada perjalanan darat ke pangururan hingga dua jam. Tambuh satu setengah jam dengan bus hingga ke kecamatan Nainggolan. Tak ada angkutan darat, laut, apalagi udara yang memasang jadwal perjalanannya langsung ke Nainggolan dari pulau Samosir. Harus menggunakan jasa angkot dua kali hingga sampai ke Nainggolan.
Kesabaran hampir lenyap. Logat mengalami perubahan yang sangat pesat. Dengan kesabaran yang masih tersisa, otak mulai berpikir untuk tidak melanjutkan perjalanan seorang diri. Bermodal takut, aku dan temanku yang masih tinggal di bus memutuskan untuk mengarungi tanah batak itu berdua. Keputusan bekerjasama dan sama-sama bekerja dengan nirwan harus memperpanjang perjalanan lagi. Perjalananku batal untuk sementara waktu dan berbelok ke desa karta. Desa Holbung. Menunggang angkot selama 45 menit sampailah di dermaga kecil nan indah dipinggiran sisi Mogang. Kehidupan lain danau Toba. Dermaga kayu, dengan sebuah sampan kecil terparkir dikakinya. Bukit-bukit hijau yang hampir terjangkau mengirimkan angin semilir langsung pada rongga hati. Damai. Ah, tapi sepertinya cuaca sedang iri padaku. Awan kelam mulai terkembang disekujur langit. Bukit-bukit hijau mendadak berkabut tebal, lalu bermandikan molekul H2O yang tetuang tumpah. Langkah kaki menjauh, Dermaga mendadak tak berpenghuni. Sampan sudah harus meninggalkan dermaga kayu. Terpal biru melindungi aku, nirwan, tiga penumpang lainnya, tetapi tidak pada si nakhoda sampan. Nakhoda harus puas bermandikan hujan untuk melihat jalan yang tak beraspal tanpa rambu. Bersama tatapan kagum, aku meninggalkan dermaga kayu menuju kaki bukit yang sedang berkabut. Saat itu pukul 15.38 WIB.
Sebelum angkutan laut bercat biru dengan lis merah disekelilingnya itu sampai pada peraduan dermaga yang dituju, hujan reda. Suasana terkungkung terpal segera tergantikan oleh luasnya danau dan tingginya perbukitan yang masih meninggalkan sekelumit kabut putih tipis. Hingga waktu mengirim kami ke dermaga yang di maksud. Uap yang dihasilkan sang hujan, membuat angka kredibilitas suhu udara menurun. Jaket segera bersatu padu di tubuh.
“Ayo masuk.” Empunya rumah mempersilahkan kami untuk segera menghuni rumah berdinding papan.
Pamplet bercat putih dengan tinta hitam bertuliskan “KEPALA DESA HOLBUNG” tertancap pada halamannya, meyakinkan rumah itu harus segera kami singgahi.
“Makasih bu,” jawaban singkat dari kami secara bersamaan.
Tanpa memperpanjang waktu, kami menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan kami didesa tersebut. Istri dari sang kepala desa menyambut kami dengan baik. Wawancara warga, dan urusan administrasi lainnya kami selesaikan dengan cepat. Waktu sebanyak 15 menit kami buang untuk menikmati seruan ombak danau. Batu sebagai tanggul penahan ombak menjadi tempat kami bersila. Cerita ringan saling kami lontarkan. Kembali pada peraduan tempat kami melepas lelah malam ini. Kedatangan malam kami sambut dengan menikmati hidangan makan malam bersama anggota keluarga yang sangat asing bagi kami dan sedikit bertukar cerita tentang kehidupan yang telah kami jalani. Malam meninggi, mata segera terpejam dengan lolongan anjing yang sangat akrab ditelinga.
Subuh yang indah. Udara dingin masih mencekam. Mata tak lagi dalam buaian mimpi. Bersama dua anak kepala desa beranjak ke pinggiran danau dengan perlengkapan mandi. Bukan karena air danau yang terlalu dingin, tapi entah mengapa niat untuk mandi mendadak berada pada tingkat nilai yang paling rendah. Danau mengeluarkan uapnya, lalu terbang meninggalkan birunya danau. Waktu berlalu setelah 45 menit danu menjadi teman yang indah pagi itu. Lagi- lagi keindahan alam memperlihatkan pertunjukannya. Sang raja api sedikit demi sedikit menaiki tahtahnya. Sinarnya menerangi seisi danau. Sunrise terjadi dipandangan. Tubuh tak berkutik saat mata menikmati indahnya lukisan alam yang terjadi. Panorama itu ku tinggalkan sejenak. Bersiap karena akan segera beranjak ke desa lain. Desa Pananggangan. Dengan perahu yang sama, kami menyebrangi danau lagi. Kali ini hanya berdua bersama nirwan dan si nakhoda. Perahu mulai berlayar. Lambaian tangan dari keluarga pak Kades mewakili kata selamat jalan yang tak terangkai dari mulut mereka. Sang raja api kini hampir sempurna pada ketinggiannya. Terkadang tertutupi oleh awan yang mengepul tebal dan terkadang sinarnya sangat membakar kulit. Hatiku hanya bisa berkata bahwa pagi ini sangat indah.
Waktu berlalu selama 60 menit. Dermaga telah terlihat dari kejauhan. Bertanya menjadi jadwal setelah beranjak dari perahu. Mereka bilang Desa yang kami tuju masih jauh, jika ditempuh dengan berjalan kaki.
“Inda dong motor tu sadun,” tutur laki-laki paruh baya.
“Anggo mardalan, dao dope?” ku Tanya lagi.
“Dao ma,” Jawabnya.
Terngiang dihati kalau mother’s language yang telah digurui dari orangtua ku, kini telah di praktekkan dilapangan. Langkah kami lanjutkan hingga ke persimpangan jalan. Seorang bapak menawarkan jasa becaknya. Kami terima, walau hanya sampai suatu tempat yang tak begitu jauh. Tapi lumayan untuk menghemat tenaga dalam melanjutkan perjalanan selanjutnya.
“Kira-kira berapa jauh lagi pak desanya?”
“Ah, tak begitu jauh lagi. Setengah jam tak sampe kalo berjalan kaki,” jelasnya dengan logat batak.
Kami mengikuti jalan. Pembongkaran makam orangtuanya menjadi alasan wanita bersanggul dengan khas pakaian kebaya itu, untuk datang kembali ke desa yang juga kami tuju. Dia menjadi teman perjalanan. Berbeda dengan desa pertama yang kami kunjungi, desa Pananggangan adalah desa yang sangat luas. Dengan setengah jiwa kami terus menanjak, berbelok, mengikuti jalan terjal berbatu yang ada. Hingga sampai pada puncak bukit yang sangat indah. Bagaimana tidak, seluruh panorama alam danau toba sangat jelas di pandang mata dari bukit ini. Sangat menawan. Air danau terus memancarkan kilau yang terpantul dari terik mentari. Sangat eksotis. Benar-benar mengagumkan. Awan putih mempererat keindahan lukisan alamnya. Tak peduli pada lelah yang menyerang. Terus melangkah.
Bodohnya, aku tak menyangka kalau wanita itu ternyata tak pernah tahu dimana rumah kepala dusun dari desa tersebut. Hati mulai resah, sepertinya ada yang tidak beres dengan perjalanan ini. Dengan segera aku mencari “kepala desa Pananggangan” pada phonebook ku yang ku dapat dari seorang pria muda yang mengenalnya.
“Hallo…bu saya sudah di desa Pananggangan. Rumah ibu dimananya?”tanyaku
“Sekarang posisi kamu dimana?” dia bertanya balik.
“Sekarang saya di…. (terdiam sambil melihat disekeliling). Saya juga nggak tahu bu, sekarang saya dimana,” jawabku bingung.
“Ada simpang tiga habis rumah warga pertama, habis itu belok kekiri. Ikuti aja jalan menurun sampe dapat sungai. Jalan terus sampe dapat kebun kopi. Nanti Tanya lagi sama warga disitu, mereka tau itu,” jelasnya panjang.
Aku masih tak tahu dengan peta yang dia jelaskan. Percuma juga bertanya pada wanita yang bersama dengan kami, dia sama sekali tak tahu menahu tentang daerah itu, walau itu kampungnya. Pria setengah baya datang dengan motor crossnya. Wanita itu tak panjang kata, pertanyaan dimana sebenarnya rumah sang Kades langsung menjadi kata pertama yang keluar dari rongga mulutnya. Hampir air yang diproduksi oleh mata yang kumiliki mengalir ke permukaan. Kami NYASAR. Tak tanggung-tanggung, kami nyasar hingga beberapa kilometer. Menurut penjelasan pria tersebut kami telah jauh dari tempat yang dimaksud. Kami berbalik arah. Berjalan menyusuri hutan dan pinggiran tebing yang terjal. Tak jauh berjalan, pria lain, datang menghampiri dan menwarkan bantuan. Kereta yang dia miliki membawa kami ke persimpangan yg dimaksud. Lumayanlah untuk menghemat tenaga beberapa kilo. Jalan yang menanjak dan menurun terjal menyebabkan angkutan tak dapat sampai kesana.
Engsel kaki hampir mengalami depresi. Akhirnya sampai juga. Seperti biasa, wawancara warga, dan urusan administrasi lainnya kami selesaikan dengan cepat. Suguhan buah yang memiliki fisik berduri tajam pada kulitnya dengan aroma tajam menjadi ciri khasnya, kami lahap dengan lezatnya. Plus hasil dari petikan kebun sendiri, menambah rasa asyiknya.
Masih pada siang yang sama. Kami beranjak dari kampung yang memiliki nuansa bukit dengan hamparan tumbuhan kopi. Lagi-lagi melewati hutan, monyet yang beratraksi dari pohon satu ke pohon satunya. Tak lupa pada kawanan anjing, beserta gerombolan kerbau pendek (orang-orang mengenalnya babi) yang hilir mudik di antara ilalang yang ada. o iya, si kerbau nan besar (yang ini kerbau beneran) juga ada disana.
Mentari telah mencekam. Pandangan memudar. Aku tak sanggup lagi untuk melanjutkan perjalanan. Benar-benar pada puncak kehausan dan kelelahan. Penderitaan kini sempurna. Otak ini tak sedikitpun menyentuh ingatan untuk membawa air mineral. Tumbuhan berduri yang memiliki tinggi mencapai hampir satu meter, menaungi aku yang telah terbaring lemah. Nafas mulai teratur kembali, perjalanan ku lanjutkan. Tapi daya hanya bertahan di beberapa langkah saja. Kembali terbaring. Kali ini di sembarang tempat, tanpa naungan. Dengan pandangan samar, ku lihat nirwan menungguku. Begitu seterusnya hingga beberapa kali. Perjuangan panjang akhirnya sampailah pada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa. Tak sangka segila itu. Dan tak pernah menyangka pula bahwa, omak aku pulaaaaaaaaNg………!!!!!! walau engsel tulang mengalami depresi berat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar