Rabu, 16 November 2011

123???

Semua manusia berlomba menjadi yang terdepan di dalam hidupnya. Bahkan tak pernah membayangkan harus berada di urutan kedua ataupun ketiga. Hidup bukanlah sebuah takdir yang di telah digariskan oleh sang pencipta, melainkan pilihan. Dan pilihanku telah aku tetapkan 20 tahun silam.
Sebuah tangan tergenggam dengan jari telunjuk menjulur dari arah tiga meter didepanku, mengisyaratkan agar aku segera menuju kesana.
“Mau kemana bu?”
“Ke arah selatan, kantor pemerintah kota.”
Kaki dengan sepatu hitam berhak lima centi, segera menopang badan yang di lucuti pakaian khas berwarna coklat untuk menaiki angkutan roda tiga yang baru saja di stop olehnya. Penumpangku hanya membutuhkan kesabaran sebanyak lima belas menit untuk sampai kekantor pemerintah kota di arah selatan dari persimpangan jalan utama. Bibir merahnya tak banyak berbicara. Pandangannya hanya tertuju pada satu arah kedepan. Kosong. Cemas juga tidak. Apalagi perasaan tergesa-gesa, sama sekali tak menyentuh wajahnya.
“Pegawai di Pemkot bu?”
“Ia,” jawabnya sangat singkat dan padat.
“Jam segini apa belum terlambat bu?”
“Ah, sudah biasa. Tidak apa-apa.”
“Udah lama bekerja disana bu?”
“Bisa dikatakan sudah lama juga, sekitar tiga belas tahunan,” jawabnya lagi.
Jika diperhatikan lebih seksama, wanita ini pasti telah menjadi seorang manusia yang terdepan. Mendapat peringkat pertama dalam sebuah perlombaaan meraih kedudukan. Bisa juga disebut derajat atau pangkat kehidupan. Tentunya dihormati berbagai kalangan masyarakat. Orang-orang sekarang menyebutnya gaya glamour atau lebih modern dengan sebutan fashionable.
Gemerlap sang raja api turut memperjelas pesona kilau cahaya batu permata yang terpantul dari batu kristal pada jari manisnya. Aku terus mengkayuh pedal becak dalam siraman mentari tepat diatas kepala. Tepat pada pagar bercat putih yang berdiri tegak, becak kuberhentikan. Wanita itu turun tanpa isyarat apapun. Mendekatiku, lalu memberikan lembaran-lembaran rupiah yang telah diraupnya selama 13 tahun dalam campuran oksigen moral yang tak seimbang.
Sama halnya dengan aku dan orang-orang dimuka bumi lainnya. Pilihan hidup juga terjadi pada wanita itu. Jika pilihan wanita tersebut menjadi orang terdepan, maka kelihatannya ia sukses dengan pilihannya. Hidup dengan derajat yang paling baik. Menjadi yang pertama, sehingga enggan mendapat peringkat kedua dalam nilai kedudukan, derajat ataupun pangkat. Apalagi mengarungi derajat kehidupan sebagai peringkat ketiga, derajat terbawah seperti aku. Menapaki kedudukan sebagai seorang pilot pesawat beroda tiga. Siapa yang mau? Menjadi pemenang terakhir dari sebuah perlombaan.
Mendayung pedal sepeda seiring dengan arah rantai besi yang hampir putus karena faktor usia. Mengukur jalan beraspal hitam yang terkadang hanya basah jika disiram hujan. Tapi inilah pilihanku. Beradu pada perlombaan moral dan berharap dapat meraih posisi pertama, walau harus menelan kekalahan di posisi ketiga pada nilai sebuah derajat kehidupan.
Tak hanya aku yang bergelut pada derajat diurutan ketiga. Teman-temanku juga. Banyak yang terkalahkan oleh kedudukan, tetapi mendapat peringkat pertama dalam perlombaan moral. Bagaimana tidak, saat embun belum menyentuh bumi, saat ribuan pasang mata masih terpejam dalam buaian mimpi, si penjual sayur telah merelakan kedua matanya terbuka dan meringankan langkahnya menuju tempat peraduan tawar-menawar terjadi. Jika saja dia terlambat, maka seluruh kaum hawa tak akan dapat menyuguhkan segarnya menu sayuran di pagi hari.
Teman sederajatku yang lain. Seseorang yang selalu bercengkrama dengan debu jalanan. Ya, dialah Seorang petugas kebersihan kota yang harus membersihkan jalan raya dari tindak tanduk perbuatan manusia yang tidak bertanggungjawab, saat barisan cahaya lentera masih enggan untuk mati. Membuang sampah sembarangan. Mengerjakan tanggungjawab yang seharusnya dapat dikerjakan lebih ringan jika kesadaran dari si pelaku lebih tinggi.
Pahit memang, jika kriteria seorang pemenang dalam sebuah kehidupan harus diukur dari sudut nominalitas. Pikirku tetap berbeda tentang penilaian kehidupan. Pikirku tetap pada mengapa 20 tahun silam, aku lebih memilih kemenangan moral dari pada harus menikmati kemenangan menjadi seseorang dalam limpahan rupiah rakyat.
“Pak, mobil saya rusak tapi saya harus segera kekantor. Bisa tolong antarkan saya secepat mungkin agar tidak terlambat,” ucap penumpang ku yang lain dengan dasi dan kemeja yang tampak sepadan dipakainya.
“Naiklah, karena kita akan menjadi yang pertama, bukan kedua ataupun ketiga.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar