Rabu, 16 November 2011

Manusia VS Manusia

jika di tanya aku akan lebih memilih menjadi malaikat. Tongkat yang tergenggam erat pada tangan yang dapat merubah apapun di dunia ini. Sepasang sayap indah menghiasi punggung, berterbangan diantara udara dan bertabrakan dengan polusi. Walau tak sering, tapi pasti selalu di puji dan di sanjung oleh makhluk ciptaan tuhan yang katanya paling sempurna itu. Atau menjadi rerumputan yang selalu mengikuti perjalanan arah angin. Tumbuh diantara pepohonan diatas tanah yang hanya basah jika di siram hujan. Walau tak di agungkan. Selalu di injak- injak, setidaknya tidak di hina oleh makhluk ciptaan tuhan yang katanya paling sempurna itu. Manusia.
Menjadi hinaan manusia memang sudah tak dapat di hindarkan lagi. Takdir sebutannya. Takdir pula yang mengantarkan aku menjadi ciptaan manusia. Aku tak pernah tahu karena tak pernah diberi tahu mengapa penciptaan yang tak ku tahu pula di ruangan mana aku tercipta harus terjadi. Seandainya saja aku juga sempurna seperti tuhan menciptakan mereka, tak akan ada rahasia dimana, kapan dan mengapa aku harus di ciptakan oleh makhluk tuhan yang katanya paling sempurna itu. Manusia.
Otak untuk berfikir, kaki untuk berjalan, mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, bahkan mulut untuk mengungkap segalanya, tak aku miliki. Tak ada panca indra yang melekat. Sepertinya aku tercipta secara illegal. Bagaimana tidak, yang ku tahu jika mereka menciptakan sesuatu, mereka akan gencar mencari wartawan untuk mewawancarai mereka. Lalu, memelas untuk di beritahu ke seluruh dunia bahwa mereka telah menciptakan sesuatu. Tapi mengapa saat aku diciptakan, mereka tak sibuk untuk mencari segudang sanjungan atau minimal mencari kata- kata “hebat” yang terucap dari ribuan bibir makhluk yang dikatakan sempurna itu. Lagi- lagi aku memang harus mendapat takdir yang buruk rupanya.
Tak jarang aku mendapat cacian, makian, amarah yang membludak karena benturan antara kekesalan dan emosional yang telah mencapai puncak. Kejengkelan.
“dasar setan....”
“Tak punya hati,” terlontar dari dari mulut seorang mahasiswi muda yang bergelut di bidang jurnalis.
Bagaimana aku bisa punya hati jika tidak diciptakan untuk memilikinya.
“ya mau gimana lagi, kalau datanya udah hilang kena virus kita harus ulang semuanya dari awal. Tak ada cara lain karena kita tidak punya pertinggalnya,” sambung mahasiswi yang juga memiliki bidang yang sama.
“gimana aku bisa terima ini semua, kamu tahu sendiri kan, kalau kita udah kerja keras dalam menyelesaikannya dan sekarang hilang. Lelah aja belum hilang,” ketusnya panjang.
Itu hanya sebagian contoh kecil dari hinaan yang aku terima dari sebuah bibir anak manusia.
Setan? Benarkah aku sehina setan? Atau wujudku yang seperti setan, sehingga mereka sering menyebut aku seperti itu? Aku benar- benar tak mengerti mengapa levelku setingkat dengan setan itu.
Aku hidup bersama dengan kumpulan berbagai jenis data penting di sebuah ruangan persegi empat yang dilengkapi dengan elektron- elektron canggih dan dipantulkan dari luar angkasa. Computer atau laptop manusia menyebutnya. Bersarang lalu memakan dan menginfeksikan data- data yang telah tersusun rapi dalam sebuah folder adalah tugasku. Tak ada kata kenyang bagiku. Aku hanya tahu bahwa tugasku hanya menghancurkan semuanya. Tak tersisa.
Ku tak peduli. Tak ada belas kasihan, karena penciptaku tak pernah memberikan pelajaran tentang bagaimana berbelas kasih.
“mengapa bisa seperti ini? Mengapa kalian tak bekerja dengan teliti?”
“saat kami ingin buat backup-nya data sudah tak bisa diselamatkan lagi pak. Kami juga gak tahu bahwa virus telah masuk dan menghilangkan data kita,” jelas seorang karyawan kepada atasannya.
“data itu digunakan siang ini, bagaimana mungkin kita dapat menyelesaikan semuanya dengan waktu sesingkat ini. Dasar virus sialan,” ungkapnya.
Aku juga tak pernah diberi pengertian oleh penciptaku tentang perbedaan umur. Kapanpun, dimanapun dan siapapun dia, jika ada target yang empuk aku akan melahapnya sebagai menu utama. Tak akan tersisa sebagai makanan penutup. Tak penting sekalipun mereka memasang muka yang memelas kepadaku. Kejam, berbahaya, teroris atau mungkin predator menjadi penghargaan yang telah aku terima dari manusia- manusia yang kesal jika terusik olehku.
Lelah dengan aksi terror dariku. mereka, manusia lain mencoba untuk memusnahkan aku. Mencari penawar yang dahsyat pula. Mencoba mengalahkan penciptaku. Tak dapat melakukan aksi lagi karena manusia lain telah mendapatkan penawar yang menghadang aku dipintu masuk file. Bahkan memusnahkan aku dengan keji. Itu lebih terhormat dari pada aku menjadi hinaan yang seharusnya tak aku dapatkan, karena aku memang diciptakan sebagai predator file. Terlahir dari pikiran keji manusia. Pemusnahan aku adalah hal terindah bagi mereka yang membenciku.
Penciptaku tak dapat berbuat apa- apa lagi. Dia hanya dapat menyembunyikan tangannya yang kotor dibalik wajah yang dibalut dengan balutan anti rasa malu.
Sementara si penemu anti virus. manusia lain, akan mengangkat wajahnya setinggi mungkin agar mendapat pujian bahkan awards karena telah melahirkan penawar yang ampuh. Benarkah mereka, makhluk yang dikatakan sempurna itu memiliki tujuan hidup untuk saling menjatuhkan? Mementingkan diri sendiri dan mencari keagungan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar